BONG “Gila secara berjamaah potret kedunguan dalam kontestasi politik"


Alwi Alu

Kalimat pendek diatas mungkin dapat menggambarkan secara singkat apa yang akan saya tuliskan pada tulisan kali ini. Pada tulisan ini saya akan sedikit mengulas kegelisahan saya akan fenomena yang terjadi akhir akhir ini yakni kontestasi politik yang berujung pada kedunguan secara masal. Banyak orang yang kemudian melakukan hal hal bodoh dan tidak rasional bahkan keluar jauh dari konsepsi manusia yang sadar, artinya mereka telah menjadi orang abnormal, orang yang melakukan sesuatu hal diluar dari kata baik dan normal bahkan memakai pandangan “cocokologi” serta “pandangan kemungkinan” (hipotesa) tak sanggup kita katakan bahwa mereka manusia yang normal.

Dalam hal ini, ketika melihat kontestasi politik seyogyanya dilihat dalam prespektif hak dan demokrasi itu sendiri, hal ini dikarenakan kontestasi politik adalah wahan optimalisasi dari pemenuhan hak politik warga negara. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Robert A. Dahl bahwa, persoalan demokrasi adalah persoalan tentang dua pembagian penting yakni persoalan yang terfokus pada kompetisi dan persoalan yang terfokus pada partisipasi. Dalam hal ini demokrasi memunculkan manusia (subyek) dengan hah-hak asasi yang melekat di dalamnya yang salahsatunya adalah hak memilih dan kebebasan berpolitik dalam demokrasi. Singkatnya hak untuk dipilih dan untuk memilih. Pengabaian terhadap kebebasan hak pilih, baik hak pilih masyarakat untuk menentukan sendiri nasib daerahnya atau negaranya dan juga hak pasangan calon untuk dipilih oleh masyarakat merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang seharusnya harus dihormati, dilindungi, dan dikembangkan.

Selain terkait dengan persoalan hak politik, kontestasi poltik juga perlu dilihat dalam prespektif demokrasi yakni pengejawantahan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini kontestasi politik, merupakan satu tahapan untuk memperjuangkan hak hak rakyat, yakni terkait dengan pelayanan publik dll. Oleh karena itu orang orang yang ikut berkontestasi dan yang terlibat didalamnya yakni sebagai Team Pemenangan maupun Yang Menentukan Pilihan serta Yang Menjadi Lawan harusnya memiliki satu impian yang sama yakni ingin menjaga agar Negara, Daerah atau Kotanya, menjadi lebih baik. Bagi mereka yang mencalonkan dirinya, harus menerjemahkan impian itu kedalam visi dan misi yang akan ditawarkan kepada publik (masyrakat) dan diperjuangakan olehnya. Kemudia, pada meraka yang berposisi sebagai team pemenang dan warga yang akan menentukan pilihannya, selaian trek record, dan integritas calon, seharunya menjadikan impian tersebut sebagai vilter untuk nantinya menentukan kepada siapa mereka menentukan pilihan. Pada posisi lawan (baik siapapun itu), harus menghargai hak politik pihak lain, walaupun itu lawannya sendiri serta dapat bersikap layaknya seorang negarawan yakni ketika kontestasi politik telah selesai, maka kepentingan negara diatas kepentingan yang lain.

Namun sebagaimana yang terjadi akhir akhir ini yakni seprti kata-kata “2019 ganti presiden” dan “dia sibuk kerja”. Secara normatif merupakan hak Warga Negara dalam hal menentukan pilihan dan melakukan cara cara untuk membuat pilihannya nantinya bisa menang, selama tidak bertentang dengan hukum atau aturan perundang undangan yang berlaku. Namun itu akan menjadi masalah ketika penentuan pilihan tersebut berujung pada saling hujat satu sama lain, saling mendiskriminasi satu sama lain, bahkan fatalnya sampai pada tahap sebagaimana yang terjadi di acara Car Free Day (CVD) di Jakarta. Yakni, Kejadian yang dialami oleh Susi Ferawati, ibu rumah tangga yang mengalami persekusi saat mengikuti jalan santai di acara CFD pada Minggu 29 april 2018 (kompas 30/04/18). Lantaran memakai kaos yang bertuliskan “dia sibuk kerja”.

Banyak komentar yang kemudia bermunculan, salah satunya yang saya tulis pada tulisan ini, komentar lainnya datang dari kemenkumham (yosanna laoly), kemenag (lukman hakim) dll, yang secara garis besar menolak tindakan presekusi tersebut dan memberikan informasi bahwa CVD agar bebas dari kepentingan politik apapun. Tetapi menurut saya mau dimanapu tempatnya, selama kontestasi politik dilepaskan atau terlepas dari paradigma hak dan proses demokrasi substansial. Maka perlu dilakukan pencegahan (pendidikan politik) dan penindakan apabila sudah terjadi (presekusi dan tidakan melawan hukum lainnya).

Fenomena yang terjadi tersebut perlu dijabarkan dengan jujur bukan hanya suatu penjabaran yang terbatas pada aspek tertentu saja. Walaupun apa yang akan saya jabarkan selanjutnya terkesan spekulatif, namun ini yang terjadi dan sudah menjadi pengetahuan umum khususnya bagi para mahasiswa yang terjun ke dunia gerakan. Dalam hal ini, terlepas dari persoalan presekusi yang terjadi, kalimat “2019 ganti presiden” dan “dia sibuk kerja” meruapakan permainan politk untuk menjaduhkan lawan, dan apa yang terjadi di CVD yakni presekusi yang dilakukan orang orang yang memakai kaos “2019 ganti Presiden” kepada Ferawati lantaran memakai kaos “dia sibuk kerja”, bukan merupakan tindakan yang murni muncul karena keinginan ganti presiden di 2019 tetapi terdapat faktor lain yakni DUIT, massa ataupun orang orang yang memakai baju “2019 ganti presiden” apalagi yang terlibat dalam perbuatan presikusi merupakan orang orang yang dibayar yakni akan melakukan suatu perbuatan jika ada bayarannya dan hal ini lumrah atau sudah menjadi perbuatan yang wajar di ibu kota jakarta. Hal ini dapat dilihat dalam rekaman vidio kejadian tersebut dimana pihak yang melakukan presikusi menggunakan memegang uang yang dilambaikan kepada Ferawati. Bahkan dalam fenomena lain dijakarta, juga sering terjadi aksi aksi mahasiswa yang dilakukan karena adanya bayaran.

Selian tentang masa bayaran tersebut, juga perlu dijelaskan terkait dengan mereka yang dengan dungunya memakai kaos “dia sibuk bekerja” saya tidak begitu tau apakah mereka memakai kaos itu karena dibayar, ataukah karena memang senang terhadap kinerja presiden jokowidodo yang pastinya kedua hal tersebut menunjukan kedunguan, dalam hal ini saya tidak menutup kemungkinan mereka dibayar juga. Dikatakan dungu karena tidakkah mereka sadar bahwa apa yang terjadi pada pemerintahan jokowidodo, tidakkah mereka sadar akan konflik agraria yang terjadi selama ini yang cenderung dibiarkan oleh pemerintah, bagaimana tangisan Ibu-Ibu kendeng yang sampai sekarang masalahnya tak kunjung selesai bahkan aktor utama yang tetap mempertahankan pabrik semen yakni Ganjar Pranowo selaku Gubernur Bawa Barat tetap tertawa dan tersenyum seolah olah tidak ada yang salah akan pebuatannya, serta fatalnya tanpa rasa malu masih mau mencalonkan dirinya dalam pemilihan gubernur. Serta berbagai konflik lainnya dalam hal perusakan lingkungan hidup, terampasnya tanah ulayat dan pembebasan lahan untuk kepentingan umum yang berujuang pada konflik. Tidakkah mereka mempertimbangakan fenomena-fenomena tersebut, jika tidak tepatlah dikatakan bahwa mereka sedang mengalami kedunguan.

Baik, pendukung jokowi maupun prabowo, saat memakai baju dengan instrumen kampanye lainnya yang bertuliskan "dia sibuk kerja dan "2019 ganti presiden" kesemuannya sedang menunjukan kegilannya pada publik bahwa mereka adalah orang indonesia yang sedang menunjukan kedunguannya dan bagi mereka yang masih menjaddi manusia sadar, yakni orang orang yang berfikir marilah bersama sama kita melakukan preser kepada pemerintah agar memperbaiki pelayanan publik agar lebih baik lagi serta mendesak agar aturan aturan hukum yang dibuat agar pro terhadap kepentigan rakyat.

selamatkan kawan dan saudara kita dari kedunguan jika tidak bisa minimal diri kita sendiri....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Urgensi Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup Prespektif Ekopopulisme.

Mahasiswa Dan Politik Mahasiswa

CERITA hingga SENJA