Urgensi Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup Prespektif Ekopopulisme.



PENDAHULUAN

Orientasi dari dibentuknya Nekara Kesatuan Repoblik Indonesia, ialah kesejtraan warga negaranya. Hal ini sebagaimana yang terdapat di dalam pembukaan UUD 1945 perubahan ke-4 (empat) alinea ke 4 yakni;

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan ke adilan sosial,”.[1]

Hal inipun berlaku dalam pengelolaan SDA sebagaimana yang terdapat pada pasal 33 (3) UUD 1945, Dalam hal ini, Sebagai negara kesejahteraan[2] dan negara hukum[3], secara implisit perlindungan hak asasi manusia oleh negara merupakan kewajiban yang diberikan oleh konstitusi. Kewajiban tersebut diperkuat lagi dengan dimasukannya pasal-pasal terkait HAM, di dalam UUD 1945 yang dapat dilihat pada pasal 28 dari A-J dan juga pasal 33. Khusus untuk lingkungan, terdapat pada pasal 28 H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) yakni sebagai berikut;

Pasal 28H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan pasal 33 ayat (4) “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.[4]

Oleh karenannya seyogyanya, Negara Indonesia harus dijalankan di atas roda pemerintahan yang mengedepankan paradigma hak, sebagaimana yang tertera di dalam UUD 1945. Dengan demikian, sesungguhnya kita dapat mengatakan bahwa setiap upaya yang dilakukan oleh siapapun untuk mendorong terpenuhinya hak warga negara, merupakan upaya untuk menegakan kenstitusi Indonesia.[5]

Dalam rangka merealisasikan tujuan negara tersebut, sebagai negara demokrastis diharuskan melibatkan masyarakat. Begitupun dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun, satu hal yang sering dilupakan adalah partisipasi masyrakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sebagai entitas masyrakat yang berdekatan dengan alam, masyarakat adat memiliki cara tersendiri untuk dapat survaive tanapa merusak alam disekitarnya. Cara atau netode-metode tersebut, dikenal dengan kearifan lokal. Sebagai negara kepulaun yang besar Indonesia meiliki berbagai macam suku dan budaya. Dari berbagai kebudayaan tersebut, mereka memiliki kearifan lokalnya masing masing. Semisal masyrakat di timur Indonesia yang memiliki tradisi pamali dan budaya sasi. Pamali dan sasi digunakan oleh masyrakat setempat atau masyarakat adat untuk mengatur relasi manusia dengan alam. Pamali, ini sendiri pun seringkali dikaitkan dengan mitos atau hal hal yang berbau mistik. Hal ini dilakukan untuk membuat masayarakat merasa takut untuk melanggarnya.

Secara kasuistik, semisal yang terjadi pada perjuangan Mama Aleta Baund, Mama Aleta dalam mengorganisir masyarakat Desa Mullo NTT untuk melawan tambang Marmer, beliau menggunakan pandangan hidup yang ada dimasyarakat. Yakni memandang bahwa alam sama halnya dengan tubuh manusia, dan manusia saling erat kaitannya dengan alam. Apabila terdapat dalah satu nsur yang terkesploitasi atau dirusak maka elemen lainnya pun akan merasakan hal yang sama.

Oleh karenanya perlu kiranya untuk mengulas tentang partisipasi masyrakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bagaimana relevansinya dan bagiamana bentuk praksisnya. Hal ini menjadi menarik dikarenakan masyarakat adat bukanlah sekolompok orang yang hidup tanpa pandangan hidup tertentu, terkhusus tentang relasi manusia dan alam. Namun, mereka memilikinya. Akan tetapi, fakta lainnya yang perlu kita sadari adalah masyarakat adalah komunitas masyarakat yang “dikatakan” terbelakang.

Perlu diketahui bahwa persoalan yang sama telah dibahas oleh Mella Ismelina Farma Rahayu, Dosen tetap UNISBA. Yakni dengan  judul, aspek hukum peran serta masyarakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dikarenakan, beliau membahasanya pada tahun 2003, yang diterbitkan dalam jurnal Ethos Vol 01. Pembahasan dalam artikel tersebut. Berbasis pada GBHN dan undang undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (UU-PLH).[6]

KAJIAN TEORI

Konsep Masyarakat Adat

Menurut Ter Har masyarakat hukum adat di Indonesia merupakan masya­rakat yang memiliki kesamaan atas teroitorial (wilayah), dan Ge­neologis (keturunan), sehingga terdapat keragaman bentuk masyarakat adat dari sua­tu tempat ke tempat lainnya.[7] Istilah Masyarakat hukum adat, sebaiknya di pahami sebagai padanan dari “adat rechtsgemeenschap”. Rechtsgemeenschap ini dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “masyarakat hukum atau persekutuan hukum”. Jadi dasar pembentukan kata masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum dan adat, bukan masyarakat dan hukum adat. Masyarakat adat secara sosial dapat dikenali dengan beragam cara. Dapat di mulai dari mengenali para pengurus adatnya, dalam suatu kelompok masyarakat adat bisa berupa suatu keluarga besar yang hidup di suatu lokasi dalam hutan hingga suatu klan yang menguasai suatu lembah, daerah aliran sungai atau padang rumput yang luas.[8]

Dalam UUD 1945 memuat pasal-pasal yang mempunyai relevansi terhadap masyarakat hukum adat. Yakni sebagai berikut; Pasal 18 D ayat (2), “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” dan pasal 28 D ayat (3), “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.[9]
2.    Konsep Eco-Populisme

Arah perjuangan politik lingkungan dalam pembangunan akan sangat ditentukan oleh ideologi yang dianut. Dalam teori gerakan sosial lingkungan dan perjuangan keadilan lingkungan (theory of distributive justice) dikenal beragam varian dari green thought, dan ideologi yang penting disebutkan adalah deep ecology atau ecologisme dan shaalow ecology atau enviromentalisme. Kedua kutub ideologi tersebut membentuk continuum. Diantara dua kutub ideologi lingkungan yang derajat kedekatannya terhdap kedua ideologi bisa berfariasi.[10]

Secara filosofis terdapat dua macam green thought yang perlu di perhatikan dalam memahami gerakan sosial lingkungan:[11]


  • Deep ecology atau ecologisme, adalah sebuah system gagasan (ideologi-politik) yang selalu berusaha hendak membentuk dan memandu cara berfikir masyarakat untuk melakukan perubahan mendasar mentalitas individu, dan kelompok dari etika tradisional antroposentrisme, kepada etika biosetrisme atau ecosentrisme. Deep ecology memandang dan menilai sebuah tindakan sosial dari prespektif lingkungan-alam, secra keseluruhan dan tidak secara parsial dari kaca mata manusia semata mata. Secara khusus dalam sistem gagasan ini termasuk juga upaya advokasi terhadap eksistensi sistem sosio budaya lokal yang seringkali diabaikan dan dimatikan vis a vis system pengetahuan barat.
  • Shallow ecology atau enviromentalisme adalah sebuah sistem gagasan yang derajat pembelaannya terhadap alam, lebih rendah ketimbang deep ecology. Dalam hal ini, perjuangan politik terhadap pembentukan new society structure (struktur sosial baru) yang ramah terhadap alam. Dalam shallow ecology pertimbangan manfaat-ekonomi, benda alam terasa sangat antroposentristik, meskipun dalam keputusan pemanfaatan benda-benda pun mereka tidak mengabaikan sama sekali eksistensi lingkungan. Namun tetap lingkungan di nomor duakan dalam pandangan ini.


Di dalam bukunya yang berjudul “Pengakuan hak atas sumberdaya alam, kontur geografi lingkunngan politik, Ton Dietz mengemukakan bahwa Eco-populisme terbagi menjadi dua, yakni eco-populisme garis keras dan eco-populisme garis lunak. Eco-populisme garis keras berpandangan bahwa belajar dari pengalaman-pengalaman orang-orang lokal merupakan hal yang vital dalam hal mempelajari lingkungan hidup, dan berpandangan bahwa inovasi-inovasi yang berasal dari luar adalah hal yang keliru, sedangkan pengetahuan lama yang diwariskan dari generasi ke generasi (bias pengetahuan mengenai tanah, tetumbuhan dan satwa, perilaku iklim, hama, atau pengetahuan yg tersirat dalam syair lagu-lagu rakyat, dan pribahasa), dalam pandangannya merupakan hal yang vital untuk di gunakan sebagai basis pengetahuan dalam mengelola lingkungan hidup. Dalam hal ini, eco-populisme beranggapan bahwa hanya pengetahuan lokal-lah yang menarik dan dunia luar sering di anggap sebagai ancaman dan musuh. Jadi, pengetahuan rakyat sama penting dengan pengetahuan ilmiah atau para petani sama dengan ilmuan[12]

Selanjutnya terdapat juga varian yang lain yakni, eco-populisme garis lunak. Dalam pandangan ini, posisi pengetahuan rakyat dengan pengetahuan ilmiah sangatlah penting, yang  dipermaslahkan bukan apa yang di anggap oleh para ilmuan pertanian atau ekologi sebagai kebenaran, tetapi bagaimana para petani menghubungkan berbagai gagasan inovatif, termasuk gagasan ilmiah yang sudah diubah atau disesuaikan dan membangun menurut mereka sendiri.[13] Kaum eco-populis baik yang garis keras maupun yang lunak, cenderung mengidealisasikan masyarakat lokal. Kedua paham tersebut, cenderung berpendapat bahwa partisipasi dari semua warga masyarakat adalah mungkin dan merupakan kunci untuk menemukan pemecahan masalah.[14] Sebagaimana yang telah disebutkan, jika dikerucutkan dapat diambil beberapa catatan penting, bahwasanya Eco-populisme merupakan pandangan yang memberikan sebuah penghargaan atas kearifan lokal serta pentingnya peningkatan ekonomi dalam mewujudkan kesejahteraan berbasis kearifan lokal dan tanpa merusak lingkungan hidup.

Partisipasipasi
Secara yuridis, aturan mengenai lingkungan hidup telah dibuat sejak tahun 1980-an. Yakni terdapat pada undang undang nomor 04 tahun 1982 tentang pokok pokok lingkungan hidup (UU-LH), yang telah diganti oleh undang undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolahan lingkungan hidup (UU PLH) dan yang terbaru adalah undang undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan linfkungan hidup.

Adapun, terkait dengan peran serta masyarakat, dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Secra yuridis, dalam UU-PPLH, telah terdapat pada pasal 65 dan padal 70. Pada pasal 65, mengatur tentang hak dan kewajiban dari setiap indiviu sedangkan pada pasal 70 mengatur terkait dengan peran masyarakat. Sebagaimana berikut ini;

Pasal 65; (1), Setiap orang berhak atas lingkungan hidup  yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. (2), Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (3), Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. (4), Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5), Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (6), Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.[15]

Dalam penjelasannya, “hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan, dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan penatan maupun pemantauan perubahan kualitas”.[16]

Adapun peraturan lain terkait peran serta masyrakat terdapat pada pasal 70 UU-PPLH. Yakni sebagai berikut;

(1), Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2), Peran masyarakat dapat berupa: (a), pengawasan sosial; (b), pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau. (c), penyampaian informasi dan/atau laporan. (3), Peran masyarakat dilakukan untuk: (a), meningkatkan kepedulian dalam. (b), perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; (c), meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; (d), menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; (c), menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.[17] Terkait dengan, Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan ini, dalam penjelasan UU-PPLH, yakni termasuk dalam penyusunan KLHS dan AMDAL.[18]

Menurut Habitat, bahwa peran serta masyarakat adalah usaha untuk melibatkan masyarakat dalam mendefinisikan permasalahan dan usaha untuk mencari pemecahan masalah. Kunci utama dari peran serta masyarakat adalah pembentukan kerja sama berdasarkan pada kepercayaan dan keterbukaan. Peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui perseorangan maupun kelompok. Peran serta masyarakat dalam bentuk kelompok dipandang lebih kuat dan menjanjikan. Kelompok masyarakat tersebut dapat didasarkan atas satuan wilayah, mata pencaharian, maupun adat.[19]

PEMBAHASAN.

Relevansi Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah menggunakan sistem demokrasi. Hal ini diatur dengan jelas di dalam UUD 1945. Yakni kedaulatan tertinggi, berada di tangan rakyat.[20] Oleh karennya, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi suatu keharusan yang harus dijalankan. Dikarenakan akses partisipasi dalam pengambilan keputusan (access to participation in decision making) juga merupakan pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi dalam pengambilan keputusan ini dibagi dalam 3 bagian, yaitu:[21] Pertama, Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam penetapan kebijakan dan program pembangunan; Kedua, Berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan; dan Ketiga, Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pada suatu kegiatan tertentu sesuai dengan kepentingannya. Begitupun, berlaku terhadap masyarkat adat.

Di Indonesia bentuk kearifan lokal yang berpandangan demikian dapat di temukan di warga kesepuhan yang hidup tersebar di berbagai kampung di sekitar daerah Banten selatan, Bogor selatan, dan Sukabumi selatan di kawasan Gunung Halimun di Provinsi Jawa Barat. Mereka beranggapan setiap makhluk di alam jagad raya ini memiliki masing-masing ruang dan hak hidup. Apabila pandangan ini diabaikan, maka akan terjadi kekacauan, atau yang sering di sebut oleh ahli lingkungan sebagai dis-equilibrium lingkungan.[22]

Secara kasuistik pernah terjadi penolakan masyarakat adat terhadap tambang marmer, yang dilakukan berdasarkan atas pengetahuan lokal setempat. Kasus itu terjadi di Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Aksi tersebut telah membuat dua perusahaan tambang, yaitu PT. So'e Indah Marmer dan PT Karya Asta Alam berhenti beroperasi. Aksi ini di pelopori oleh seorang warga bernama Aletta Baun beserta perempuan suku di daerah tersebut.[23] Selama kurang lebih 13 tahun, seorang Aleta Baun bersama perempuan-perempuan suku Mollo bergerak melakukan protes dengan menenun kain di tempat-tempat penambangan marmer di Gunung Mutis. Bagi suku Mollo, Gunung Mutis adalah tempat yang sakral dan merupakan sumber air bagi pertanian, selain itu merupakan temapat mereka mengumpulkan pangan dan serat untuk menenun kain.[24]

Hal yang terjadi di kesepuhan yang hidup tersebar di berbagai kampung di sekitar daerah Banten selatan, Bogor selatan, dan Sukabumi selatan, serta yang terjadi di Mollo, Kabuten Timor Tengah Selatan, NTT adalah salah satu contoh nyata bahwasanya perlindungan terhadap hak masyrakat adat dalam memperoleh lingkungan hidup yang baik adalah sebuah keharusan yang harus dipenuhi oleh negara. Hal ini dikarenakan rusaknya lingkungan hidup akan mengakibatkan kekacauan, dan juga secara langsung akan berdampak pada masyrakat sekitar, baik secara budaya, ekonomi, dan politik.

Dalam hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Sonny Keraf dalam artikelnya berjudul Sustainable Development bahwa; Akar permasalahan krisis ekologi dan keberlanjutannya adalah pola pikir manusia yang menempatkan alam sebagai obyek yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan manusia. Juga, mis-orientasi pembangunan yang dilakukan. Pembangunan yang berorientasi profit semata mata,  akan menegasikan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup. Mirisnya hal ini terjadi umum di seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia.[25]

Paradigma-paradigma yang keliru tersebut, merupakan permasalahan yang harus diselesaikan sesegara mungkin. Dikarenakan kerusakan lingkungan saat ini, bukan cuman mengancam kehidupan satu dua pulau, bahkan benua, namun kerusakan lingkungan saat ini, telah berakibat pada kerusakan Bumi. Bahkan, Fisikawan terkemuka, Sthepen Haukings dalam sebuah wawancara di akhir 2016, menganjurlakan melakukan migrasi ke planet lain, dikarenakan Bumi tidak layak untuk di huni lagi. Dalam hal ini, masyarakat adat yang telah terbukti secara praksis mampu menjaga memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak lingkungan patut kita contohkan selain itu kita juga harus mengambil langkah langkah kongkrit lainnya. Karena kita harus takut, dan berfikir bahwa sekarang sekarang krisis besar besaran.

Bentuk partisipasi masyarakat adat

Dalam UUD 1945, Pasal 28 H, diketahui bahwasanya lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pengakuan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari HAM membawa implikasi yang cukup signifikan bagi pemenuhan hak tersebut. Secara konstitusi, pengakuan ini menimbulkan kewajiban bagi negara, khususnya pemerintah untuk memenuhi, menghargai dan melindunginya.

Menurut Heringa, untuk mewujudkan hal tersebut negara wajib:[26] Pertama, Menerjemahkan prinsip perlindungan lingkungan sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan;  Kedua, Berupaya melindungi hak asasi tersebut dan melakukan upaya-upaya yang layak untuk melindungi hak tersebut;  Ketiga, Mematuhi hukum yang sudah dibuat oleh negara itu sendiri (dalam hal ini berarti pemerintah wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku);

Keempat, Memastikan bahwa kepentingan setiap warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat diperhatikan dan diperlakukan seimbang dengan kepentingan publik, termasuk di dalamnya memastikan bahwa setiap warga negara dijamin hak-hak proseduralnya dan mendapat kompensasi apabila haknya dilanggar; Kelima, Memastikan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara transparan dan bahwa setiap warga negara dapat berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang mempengaruhi hajat hidupnya.

Pemikiran tersebut, berkaitan dengan ketentuan yang menjamin pemenuhan hak yang terdiri dari, “hak akses terhadap informasi, partisipasi, dan keadilan. Sehingga diharapkan dapat terpenuhinya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketiga hak akses tersebut, diwujudkan pada peran aktif masyarakat dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran aktif masyarakat ini, dapat disebut sebagai partisipasi masyarakat.[27]

Prayekti Murhajanti, menyebutkan bahwa; Partisipasi merupakan salah satu pilar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Partisipasi berarti memberikan kesempatan pada semua pemangku kepentingan untuk ikut serta dalam setiap tahapan perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, hingga evaluasi suatu kebijakan. Akses partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, utamanya dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam, akan mendorong lahirnya produk kebijakan yang tidak hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan dan hak-hak dasar masyarakat, melalui minimalisasi biaya sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.[28]

Selain itu, akses partisipasi dalam pengambilan keputusan (access to participation in decision making) juga merupakan pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi dalam pengambilan keputusan ini dibagi dalam 3 bagian, yaitu:[29] Pertama, Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam penetapan kebijakan dan program pembangunan; Kedua, Berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan; dan Ketiga, Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pada suatu kegiatan tertentu sesuai dengan kepentingannya.

Dalam hal ini, dikarenakan sifatnya yang urgen, brntuk partisipasi masyarakat adat tidak dapat dilakukan hanya mengikuti aturan yang terdapat di dalam pasal 70 ayat (2) UU-PPLH. Yakni yang terklasifikasi kedalam penyampai informasi. Partisipasi masyarakat adat harus melampaui itu. Tentunya, yang dilakukan dengan diskursus yang emansipatif, setara dan memiliki visi perubahan. Seta jenis partisipasi masyarakat dilakukan berdasarkan kondisi yang terjadi diwilyah tersebut. Dalam hal ini, terkait tingkatan partisipasi dapat dilihat dalam klasifikasi Shery Arstein. Arstein megungkapkan bahwa terdapat delapat tingkat partisipasi masyrakat, yakni yang terdeah adalah manupulation dan yang tertinggi adalah citizen control. Sebagaimana yang terdapat pada bagan dibawah ini;[30]



Arnstein (1969) menjelaskan kedelapan tangga tingkatan partisipasi, tersebut sebagai berikut:[31]

  • Manipulasi (manipulation), merupakan partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat sebagai formalitas dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni karena hanya dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa;
  • Terapi (therapy), dalam tingkatan ini pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdayaan sebagai penyakit mental dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan, namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukannya menemukan penyebab lukanya;
  • Pemberitahuan (informing), merupakan pemberian informasi kepada masyarakat tentang hak, tanggung jawab dan pilihan mereka yang merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat;
  • Konsultasi (consultation), dimaknai sebagai kegiatan untuk mengetahui pendapat masyarakat yang merupakan suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Namun, konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan;
  • Penentraman (placation), pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat hanya diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana namun pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan.
  • Kemitraan (partnership), pada tingkat ini kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat yang bersepakat untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputuan dengn aturan yang ditntukan melalui mekanisme take an give sehingga hubungan partnership dapat berjalan efektif;
  • Pendelegasian kekuasaan (delegated power), dimaknai sebagai negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah yang dapat mengakibatkan  terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu;
  • Kontrol masyarakat (citizen control), pada tingkat ini, masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka sehingga masyarakat dapat berhubungan langsung dengan hal-hal yang berkaitan seperti halnya sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati pihak ketiga.

PENUTUP

Kesimpulan

Akar permasalahan krisis ekologi dan keberlanjutannya adalah pola pikir manusia yang menempatkan alam sebagai obyek yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan manusia. Juga, mis-orientasi pembangunan yang dilakukan. Pembangunan yang berorientasi profit semata mata,  akan menegasikan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup. Mirisnya hal ini terjadi umum di seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia

Paradigma-paradigma yang keliru tersebut, merupakan permasalahan yang harus diselesaikan sesegara mungkin. Dikarenakan kerusakan lingkungan saat ini, bukan cuman mengancam kehidupan satu dua pulau, bahkan benua, namun kerusakan lingkungan saat ini, telah berakibat pada kerusakan Bumi. Bahkan, Fisikawan terkemuka, Sthepen Haukings dalam sebuah wawancara di akhir 2016, menganjurlakan melakukan migrasi ke planet lain, dikarenakan Bumi tidak layak untuk di huni lagi. Dalam hal ini, masyarakat adat yang telah terbukti secara praksis mampu menjaga memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak lingkungan patut kita contohkan selain itu kita juga harus mengambil langkah langkah kongkrit lainnya. Karena kita harus takut, dan berfikir bahwa sekarang sekarang krisis besar besaran

Rekomendasi

Dalam hal ini, dikarenakan sifatnya yang urgen, bentuk partisipasi masyarakat adat tidak dapat dilakukan hanya mengikuti aturan yang terdapat di dalam pasal 70 ayat (2) UU-PPLH. Yakni yang terklasifikasi kedalam penyampai informasi. Partisipasi masyarakat adat harus melampaui itu. Tentunya, yang dilakukan dengan diskursus yang emansipatif, setara dan memiliki visi perubahan. Seta terkait pengamplikasian, jenis partisipasi masyarakat dapat dipilih berdasarkan kondisi yang terjadi diwilyah tersebut. Bahkan jika memungkinan dapat juga di kembangkan

Oleh karennya dalam melakukan partisipasi masyarakat adat, perlu dilakukan terlebih dahulu terkait permasalahan yang terjadi. Baik terhadap keadaan SDA maupun terkait kondisi Masyarak terdapat di wilayah tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk, ketika dalam melakukan partisipasi masyarakat hal tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat ditempaat itu, sehingga nantinya partisipasi yang dilakukan dapat berdaya Guna.



Daftar Pustaka
Alwi Alu, Thanos, Krisis ekologi dan masa depan bumi, diakases dari https://www.mongabay.co.id/2019/01/01/thanos-krisis-ekologis-dan-masa-depan-bumi/ pada tanggal 11 Juni 2019.
Arya Hadi Dharmawan, Dinamika Sosio-Pedesaan,Prespektif Dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusa, Sosiologi Lingkungan Dan Ekologi Politik, (Issn:Vol. 01, No 1.).
Bambang Widianto Dan Iwan Meulia Pirous, Prespektif Budaya, (Jakarta, PT Raja Grafindo: 2009)
Farma Rahayu, aspek hukum peran serta masyarakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, diakses dari https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/ethos/article/download/1604/pdf pada tanggal 10 Juni 2019.
Fauziah hambani, partisipasi penyedia jasa wisata dalam pengelolaan lingkungan hidup, desa wisata malasari, kecamatan nanggung, kabupaten bogor, (Boogor, Institute Pertanian Bogor: 2018).
Hesti Puspitosari, khalikussabir, luthfi J. Kurniawan, filosofi pelayanan public “buramnya wajah pelayanan menuju perubahan paradigm pelayanan public” (malang: setara press & MP3, 2012).
Jawahir Thontowi, Pengaturan Masyarakat Adat Dan Implementasi Perlindungan Hak Hak Tradisionalnya, (Jurnal Unnes, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia; Volume 10. Nomor 1. June 2015).
Nur Fauzi Rahman dan Mia Siscawati Masyarakat Hukum Adat “Adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, Dan Pemilik Wilayah Adat (Yogyakarta: Insistpress 2014).
Raynaldo Sembiring, Yustisia Rahman, Elizabeth, Napitupulu, Margaretha Quina, dan Rika Fajrini, anotasi undang undang nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup.
Satya Laksana, Partisipasi siswa dalam implementasi plh (pendidikan lingkungan hidup) di SMP Negeri 7 Yogyakarta, (Yogyakarta: universitas negeri yogyakarta, 2017).
Ton Dietz, Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam, Kontur Geografi Politik, (Yogyakarta, Insist Press) 2005.
UUD NRI 1945 Perubahan Ke 4 (Empat) Tahun 2002
Undang undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup.
Yulan Sadono, Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, (Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota; 2013).



[1] UUD NRI 1945 Perubahan Ke 4 (Empat) Tahun 2002
[2] Preambul UUD 1945.
[3] Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
[4] UUD 1945 Perubahan ke 4 (empat) tahun 2002.
[5] Hesti Puspitosari, khalikussabir, luthfi J. Kurniawan, filosofi pelayanan public “buramnya wajah pelayanan menuju perubahan paradigm pelayanan public” (malang: setara press & MP3, 2012) hlm,3-4.
[6] Farma Rahayu, aspek hukum peran serta masyarakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, diakses dari https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/ethos/article/download/1604/pdf pada tanggal 10 Juni 2019.
[7] Jawahir Thontowi, Pengaturan Masyarakat Adat Dan Implementasi Perlindungan Hak Hak Tradisionalnya, (Jurnal Unnes, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia; Volume 10. Nomor 1. June 2015), hlm.04
[8] Nur Fauzi Rahman dan Mia Siscawati Masyarakat Hukum Adat “Adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, Dan Pemilik Wilayah Adat (Yogyakarta: Insistpress 2014), hlm. 6-7
[9] UUD 1945 Perubahan ke 4 (empat) Tahun 2002
[10] Arya Hadi Dharmawan, Dinamika Sosio-Pedesaan,Prespektif Dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusa, Sosiologi Lingkungan Dan Ekologi Politik, (Issn:Vol. 01, No 1.), hlm.30
[11] Ibid, hlm.31
[12] Ton Dietz, Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam, Kontur Geografi Politik, (Yogyakarta, Insist Press) 2005, hlm. 35-36
[13] Ibid, hlm.36-37
[14] Ibid hlm.40
[15] Undang undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup.
[16] Ibid,
[17] Ibid,
[18] Ibid,
[19] Yulan Sadono, Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, (Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota; 2013), hlm, 55.
[20] Pasal 1 ayat (1) UUD 1945.
[21] Raynaldo Sembiring, Yustisia Rahman, Elizabeth, Napitupulu, Margaretha Quina, dan Rika Fajrini, anotasi undang undang nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup, h, 73.
[22] Bambang Widianto Dan Iwan Meulia Pirous, Prespektif Budaya, (Jakarta : PT Raja Grafindo), 2009, hlm.235-236
[25] Alwi Alu, Thanos, Krisis ekologi dan masa depan bumi, diakases dari https://www.mongabay.co.id/2019/01/01/thanos-krisis-ekologis-dan-masa-depan-bumi/ pada tanggal 11 Juni 2019.
[26] Raynaldo Sembiring, Yustisia Rahman, Elizabeth, Napitupulu, Margaretha Quina, dan Rika Fajrini, anotasi undang undang nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup, hlm, 72.
[27] Ibid, hlm, 73.
[28] Ibid, hlm, 73.
[29] Ibid, hlm, 73.
[30] Satya Laksana, Partisipasi siswa dalam implementasi plh (pendidikan lingkungan hidup) di SMP Negeri 7 Yogyakarta, (Yogyakarta: universitas negeri yogyakarta, 2017), hlm, 36.
[31] Fauziah hambani, partisipasi penyedia jasa wisata dalam pengelolaan lingkungan hidup, desa wisata malasari, kecamatan nanggung, kabupaten bogor, (Boogor, Institute Pertanian Bogor: 2018), hlm, 10-11.

Komentar

  1. tulisan, di buat sebagai persyaratan untuk mengikuti KALABAHU LBH Surabaya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Dan Politik Mahasiswa

CERITA hingga SENJA