Urgensi Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup Prespektif Ekopopulisme.
PENDAHULUAN
Orientasi dari dibentuknya Nekara
Kesatuan Repoblik Indonesia, ialah kesejtraan warga negaranya. Hal ini
sebagaimana yang terdapat di dalam pembukaan UUD 1945 perubahan ke-4 (empat)
alinea ke 4 yakni;
“Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan ke adilan
sosial,”.[1]
Hal inipun
berlaku dalam pengelolaan SDA sebagaimana yang terdapat pada pasal 33 (3) UUD
1945, Dalam hal ini, Sebagai negara
kesejahteraan[2] dan negara hukum[3],
secara implisit perlindungan hak asasi manusia oleh negara merupakan kewajiban
yang diberikan oleh konstitusi. Kewajiban tersebut diperkuat lagi dengan
dimasukannya pasal-pasal terkait HAM, di dalam UUD 1945 yang dapat dilihat pada
pasal 28 dari A-J dan juga pasal 33. Khusus untuk lingkungan, terdapat pada
pasal 28 H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) yakni sebagai berikut;
Pasal 28H ayat (1) “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan” dan pasal 33 ayat (4) “Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional”.[4]
Oleh
karenannya seyogyanya, Negara Indonesia harus dijalankan di atas roda
pemerintahan yang mengedepankan paradigma hak, sebagaimana yang tertera di dalam UUD 1945. Dengan demikian, sesungguhnya kita dapat mengatakan bahwa
setiap upaya yang dilakukan oleh siapapun untuk mendorong terpenuhinya hak
warga negara, merupakan upaya untuk menegakan kenstitusi Indonesia.[5]
Dalam rangka merealisasikan tujuan negara tersebut, sebagai negara
demokrastis diharuskan melibatkan masyarakat. Begitupun dalam hal perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun, satu hal
yang sering dilupakan adalah partisipasi masyrakat adat dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Sebagai entitas masyrakat yang berdekatan
dengan alam, masyarakat adat memiliki cara tersendiri untuk dapat survaive
tanapa merusak alam disekitarnya. Cara atau netode-metode tersebut, dikenal dengan
kearifan lokal. Sebagai negara kepulaun yang besar Indonesia meiliki berbagai
macam suku dan budaya. Dari berbagai kebudayaan tersebut, mereka memiliki
kearifan lokalnya masing masing. Semisal masyrakat di timur Indonesia yang
memiliki tradisi pamali dan budaya sasi. Pamali dan sasi digunakan oleh
masyrakat setempat atau masyarakat adat untuk mengatur relasi manusia dengan
alam. Pamali, ini sendiri pun seringkali dikaitkan dengan mitos atau hal hal
yang berbau mistik. Hal ini dilakukan untuk membuat masayarakat merasa takut
untuk melanggarnya.
Secara kasuistik, semisal yang terjadi
pada perjuangan Mama Aleta Baund, Mama Aleta dalam mengorganisir masyarakat
Desa Mullo NTT untuk melawan tambang Marmer, beliau menggunakan pandangan hidup
yang ada dimasyarakat. Yakni memandang bahwa alam sama halnya dengan tubuh
manusia, dan manusia saling erat kaitannya dengan alam. Apabila terdapat dalah
satu nsur yang terkesploitasi atau dirusak maka elemen lainnya pun akan
merasakan hal yang sama.
Oleh karenanya perlu kiranya untuk
mengulas tentang partisipasi masyrakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Bagaimana relevansinya dan bagiamana bentuk praksisnya. Hal
ini menjadi menarik dikarenakan masyarakat adat bukanlah sekolompok orang yang
hidup tanpa pandangan hidup tertentu, terkhusus tentang relasi manusia dan alam.
Namun, mereka memilikinya. Akan tetapi, fakta lainnya yang perlu kita sadari
adalah masyarakat adalah komunitas masyarakat yang “dikatakan” terbelakang.
Perlu diketahui bahwa persoalan yang sama
telah dibahas oleh Mella Ismelina Farma Rahayu, Dosen tetap UNISBA. Yakni
dengan judul, aspek hukum peran serta
masyarakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dikarenakan, beliau membahasanya pada tahun 2003, yang diterbitkan dalam jurnal
Ethos Vol 01. Pembahasan dalam artikel tersebut. Berbasis pada GBHN dan undang
undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (UU-PLH).[6]
KAJIAN TEORI
Konsep Masyarakat Adat
KAJIAN TEORI
Konsep Masyarakat Adat
Menurut Ter Har masyarakat hukum adat di Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki kesamaan atas teroitorial (wilayah), dan Geneologis (keturunan), sehingga terdapat keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lainnya.[7] Istilah Masyarakat hukum adat, sebaiknya di pahami sebagai padanan dari “adat rechtsgemeenschap”. Rechtsgemeenschap ini dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “masyarakat hukum atau persekutuan hukum”. Jadi dasar pembentukan kata masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum dan adat, bukan masyarakat dan hukum adat. Masyarakat adat secara sosial dapat dikenali dengan beragam cara. Dapat di mulai dari mengenali para pengurus adatnya, dalam suatu kelompok masyarakat adat bisa berupa suatu keluarga besar yang hidup di suatu lokasi dalam hutan hingga suatu klan yang menguasai suatu lembah, daerah aliran sungai atau padang rumput yang luas.[8]
Dalam UUD 1945 memuat pasal-pasal yang mempunyai relevansi
terhadap masyarakat hukum adat. Yakni sebagai berikut; Pasal 18 D ayat (2), “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” dan pasal
28 D ayat (3), “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”.[9]
2.
Konsep Eco-Populisme
Arah perjuangan politik lingkungan dalam
pembangunan akan sangat ditentukan oleh ideologi yang dianut. Dalam teori
gerakan sosial lingkungan dan perjuangan keadilan lingkungan (theory of
distributive justice) dikenal beragam varian dari green thought, dan
ideologi yang penting disebutkan adalah deep ecology atau ecologisme
dan shaalow ecology atau enviromentalisme. Kedua kutub ideologi
tersebut membentuk continuum. Diantara dua kutub ideologi lingkungan yang
derajat kedekatannya terhdap kedua ideologi bisa berfariasi.[10]
Secara filosofis terdapat dua macam green
thought yang perlu di perhatikan dalam memahami gerakan sosial lingkungan:[11]
- Deep ecology atau ecologisme, adalah sebuah system gagasan (ideologi-politik) yang selalu berusaha hendak membentuk dan memandu cara berfikir masyarakat untuk melakukan perubahan mendasar mentalitas individu, dan kelompok dari etika tradisional antroposentrisme, kepada etika biosetrisme atau ecosentrisme. Deep ecology memandang dan menilai sebuah tindakan sosial dari prespektif lingkungan-alam, secra keseluruhan dan tidak secara parsial dari kaca mata manusia semata mata. Secara khusus dalam sistem gagasan ini termasuk juga upaya advokasi terhadap eksistensi sistem sosio budaya lokal yang seringkali diabaikan dan dimatikan vis a vis system pengetahuan barat.
- Shallow ecology atau enviromentalisme adalah sebuah sistem gagasan yang derajat pembelaannya terhadap alam, lebih rendah ketimbang deep ecology. Dalam hal ini, perjuangan politik terhadap pembentukan new society structure (struktur sosial baru) yang ramah terhadap alam. Dalam shallow ecology pertimbangan manfaat-ekonomi, benda alam terasa sangat antroposentristik, meskipun dalam keputusan pemanfaatan benda-benda pun mereka tidak mengabaikan sama sekali eksistensi lingkungan. Namun tetap lingkungan di nomor duakan dalam pandangan ini.
Di dalam bukunya yang berjudul “Pengakuan
hak atas sumberdaya alam, kontur geografi lingkunngan politik”, Ton Dietz mengemukakan bahwa Eco-populisme
terbagi menjadi dua, yakni eco-populisme garis keras dan eco-populisme garis
lunak. Eco-populisme garis keras berpandangan bahwa belajar dari
pengalaman-pengalaman orang-orang lokal merupakan hal yang vital dalam hal
mempelajari lingkungan hidup, dan berpandangan bahwa inovasi-inovasi yang
berasal dari luar adalah hal yang keliru, sedangkan pengetahuan lama yang
diwariskan dari generasi ke generasi (bias pengetahuan mengenai tanah,
tetumbuhan dan satwa, perilaku iklim, hama, atau pengetahuan yg tersirat dalam
syair lagu-lagu rakyat, dan pribahasa), dalam pandangannya merupakan hal yang
vital untuk di gunakan sebagai basis pengetahuan dalam mengelola lingkungan
hidup. Dalam hal ini, eco-populisme beranggapan bahwa hanya pengetahuan
lokal-lah yang menarik dan dunia luar sering di anggap sebagai ancaman dan
musuh. Jadi, pengetahuan rakyat sama
penting dengan pengetahuan ilmiah atau para petani sama dengan
ilmuan[12]
Selanjutnya terdapat juga varian yang lain yakni, eco-populisme garis
lunak. Dalam pandangan ini, posisi pengetahuan rakyat dengan pengetahuan ilmiah
sangatlah penting, yang dipermaslahkan
bukan apa yang di anggap oleh para ilmuan pertanian atau ekologi sebagai
kebenaran, tetapi bagaimana para petani menghubungkan berbagai gagasan
inovatif, termasuk gagasan ilmiah yang sudah diubah atau disesuaikan dan
membangun menurut mereka sendiri.[13]
Kaum eco-populis baik yang garis keras maupun yang lunak, cenderung
mengidealisasikan masyarakat lokal. Kedua paham tersebut, cenderung berpendapat
bahwa partisipasi dari semua warga masyarakat adalah mungkin dan merupakan
kunci untuk menemukan pemecahan masalah.[14] Sebagaimana yang telah disebutkan, jika
dikerucutkan dapat diambil beberapa catatan penting, bahwasanya Eco-populisme
merupakan pandangan yang memberikan sebuah penghargaan atas kearifan lokal
serta pentingnya peningkatan ekonomi dalam mewujudkan kesejahteraan berbasis
kearifan lokal dan tanpa merusak lingkungan hidup.
Partisipasipasi
Partisipasipasi
Secara yuridis, aturan mengenai
lingkungan hidup telah dibuat sejak tahun 1980-an. Yakni terdapat pada undang
undang nomor 04 tahun 1982 tentang pokok pokok lingkungan hidup (UU-LH), yang
telah diganti oleh undang undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolahan
lingkungan hidup (UU PLH) dan yang terbaru adalah undang undang nomor 32 tahun
2009 tentang perlindungan dan pengelolahan linfkungan hidup.
Adapun, terkait dengan peran serta masyarakat,
dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Secra yuridis, dalam
UU-PPLH, telah terdapat pada pasal 65 dan padal 70. Pada pasal 65, mengatur
tentang hak dan kewajiban dari setiap indiviu sedangkan pada pasal 70 mengatur
terkait dengan peran masyarakat. Sebagaimana berikut ini;
Pasal 65; (1), Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat
sebagai bagian dari hak asasi manusia. (2), Setiap orang berhak mendapatkan
pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (3),
Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup. (4), Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5), Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup. (6), Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.[15]
Dalam penjelasannya, “hak atas informasi
lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam
pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas
informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam
pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat
untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa
data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka
untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan
hidup, laporan, dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan
penatan maupun pemantauan perubahan kualitas”.[16]
Adapun peraturan lain terkait peran serta
masyrakat terdapat pada pasal 70 UU-PPLH. Yakni sebagai berikut;
(1), Masyarakat memiliki hak dan kesempatan
yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. (2), Peran masyarakat dapat berupa: (a),
pengawasan sosial; (b), pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan;
dan/atau. (c), penyampaian informasi dan/atau laporan. (3), Peran masyarakat
dilakukan untuk: (a), meningkatkan kepedulian dalam. (b), perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup; (c), meningkatkan kemandirian, keberdayaan
masyarakat, dan kemitraan; (d), menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat; (c), menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan
lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.[17] Terkait
dengan, Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan ini, dalam penjelasan
UU-PPLH, yakni termasuk dalam penyusunan KLHS dan AMDAL.[18]
Menurut Habitat, bahwa peran serta
masyarakat adalah usaha untuk melibatkan masyarakat dalam mendefinisikan
permasalahan dan usaha untuk mencari pemecahan masalah. Kunci utama dari peran
serta masyarakat adalah pembentukan kerja sama berdasarkan pada kepercayaan dan
keterbukaan. Peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui perseorangan maupun
kelompok. Peran serta masyarakat dalam bentuk kelompok dipandang lebih kuat dan
menjanjikan. Kelompok masyarakat tersebut dapat didasarkan atas satuan wilayah,
mata pencaharian, maupun adat.[19]
PEMBAHASAN.
Relevansi Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
PEMBAHASAN.
Relevansi Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah menggunakan sistem demokrasi. Hal ini diatur dengan jelas di dalam UUD 1945. Yakni kedaulatan tertinggi, berada di tangan rakyat.[20] Oleh karennya, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi suatu keharusan yang harus dijalankan. Dikarenakan akses partisipasi dalam pengambilan keputusan (access to participation in decision making) juga merupakan pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi dalam pengambilan keputusan ini dibagi dalam 3 bagian, yaitu:[21] Pertama, Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam penetapan kebijakan dan program pembangunan; Kedua, Berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan; dan Ketiga, Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pada suatu kegiatan tertentu sesuai dengan kepentingannya. Begitupun, berlaku terhadap masyarkat adat.
Di Indonesia bentuk kearifan lokal yang
berpandangan demikian dapat di temukan di warga kesepuhan yang hidup tersebar
di berbagai kampung di sekitar daerah Banten selatan, Bogor selatan, dan
Sukabumi selatan di kawasan Gunung Halimun di Provinsi Jawa Barat. Mereka
beranggapan setiap makhluk di alam jagad raya ini memiliki masing-masing ruang
dan hak hidup. Apabila pandangan ini diabaikan, maka akan terjadi kekacauan,
atau yang sering di sebut oleh ahli lingkungan sebagai dis-equilibrium
lingkungan.[22]
Secara kasuistik pernah terjadi penolakan
masyarakat adat terhadap tambang marmer, yang dilakukan berdasarkan atas
pengetahuan lokal setempat. Kasus itu terjadi di Mollo,
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Aksi tersebut
telah membuat dua perusahaan tambang, yaitu PT. So'e Indah Marmer dan PT Karya
Asta Alam berhenti beroperasi. Aksi ini di pelopori oleh seorang warga bernama
Aletta Baun beserta perempuan suku di daerah tersebut.[23] Selama kurang lebih 13 tahun, seorang Aleta Baun
bersama perempuan-perempuan suku Mollo bergerak melakukan protes dengan menenun
kain di tempat-tempat penambangan marmer di Gunung Mutis. Bagi suku Mollo,
Gunung Mutis adalah tempat yang sakral dan merupakan sumber air bagi pertanian,
selain itu merupakan temapat mereka mengumpulkan pangan dan serat untuk menenun
kain.[24]
Hal yang terjadi di
kesepuhan yang hidup tersebar di berbagai
kampung di sekitar daerah Banten selatan, Bogor selatan, dan Sukabumi selatan,
serta yang terjadi di Mollo, Kabuten Timor
Tengah Selatan, NTT adalah salah satu contoh nyata bahwasanya perlindungan
terhadap hak masyrakat adat dalam memperoleh lingkungan hidup yang baik adalah
sebuah keharusan yang harus dipenuhi oleh negara. Hal ini dikarenakan rusaknya
lingkungan hidup akan mengakibatkan kekacauan, dan juga secara langsung akan
berdampak pada masyrakat sekitar, baik secara budaya, ekonomi, dan politik.
Dalam hal ini sebagaimana yang disebutkan
oleh Sonny Keraf dalam artikelnya berjudul Sustainable
Development bahwa; Akar
permasalahan krisis ekologi dan keberlanjutannya adalah pola pikir manusia yang
menempatkan alam sebagai obyek yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Juga, mis-orientasi pembangunan yang dilakukan.
Pembangunan yang berorientasi profit semata mata, akan menegasikan aspek sosial-budaya dan
lingkungan hidup. Mirisnya hal ini terjadi umum di seluruh negara di dunia,
termasuk di Indonesia.[25]
Paradigma-paradigma yang
keliru tersebut, merupakan permasalahan yang harus diselesaikan sesegara
mungkin. Dikarenakan kerusakan lingkungan saat ini, bukan cuman mengancam
kehidupan satu dua pulau, bahkan benua, namun kerusakan lingkungan saat ini,
telah berakibat pada kerusakan Bumi. Bahkan, Fisikawan terkemuka, Sthepen
Haukings dalam sebuah wawancara di akhir 2016, menganjurlakan melakukan migrasi
ke planet lain, dikarenakan Bumi tidak layak untuk di huni lagi. Dalam hal ini,
masyarakat adat yang telah terbukti secara praksis mampu menjaga memenuhi
kebutuhan hidupnya tanpa merusak lingkungan patut kita contohkan selain itu
kita juga harus mengambil langkah langkah kongkrit lainnya. Karena kita harus
takut, dan berfikir bahwa sekarang sekarang krisis besar besaran.
Bentuk partisipasi masyarakat adat
Bentuk partisipasi masyarakat adat
Dalam UUD 1945, Pasal 28 H, diketahui bahwasanya lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pengakuan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari HAM membawa implikasi yang cukup signifikan bagi pemenuhan hak tersebut. Secara konstitusi, pengakuan ini menimbulkan kewajiban bagi negara, khususnya pemerintah untuk memenuhi, menghargai dan melindunginya.
Menurut Heringa, untuk mewujudkan hal
tersebut negara wajib:[26] Pertama,
Menerjemahkan prinsip perlindungan lingkungan sebagai bagian dari perlindungan
hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan; Kedua, Berupaya melindungi hak asasi
tersebut dan melakukan upaya-upaya yang layak untuk melindungi hak
tersebut; Ketiga, Mematuhi hukum
yang sudah dibuat oleh negara itu sendiri (dalam hal ini berarti pemerintah wajib
mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku);
Keempat, Memastikan bahwa kepentingan setiap warga negara untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang sehat diperhatikan dan diperlakukan seimbang
dengan kepentingan publik, termasuk di dalamnya memastikan bahwa setiap warga
negara dijamin hak-hak proseduralnya dan mendapat kompensasi apabila haknya
dilanggar; Kelima, Memastikan bahwa pengelolaan lingkungan hidup
dilakukan secara transparan dan bahwa setiap warga negara dapat berpartisipasi
dalam setiap pengambilan keputusan yang mempengaruhi hajat hidupnya.
Pemikiran tersebut, berkaitan dengan
ketentuan yang menjamin pemenuhan hak yang terdiri dari, “hak akses terhadap
informasi, partisipasi, dan keadilan. Sehingga diharapkan
dapat terpenuhinya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketiga hak
akses tersebut, diwujudkan pada peran aktif masyarakat dalam upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran aktif masyarakat ini, dapat disebut
sebagai partisipasi masyarakat.[27]
Prayekti Murhajanti, menyebutkan bahwa;
Partisipasi merupakan salah satu pilar tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Partisipasi berarti memberikan kesempatan pada semua pemangku
kepentingan untuk ikut serta dalam setiap tahapan perencanaan, pengambilan keputusan,
pelaksanaan, hingga evaluasi suatu kebijakan. Akses partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan, utamanya dalam pengelolaan lingkungan dan sumber
daya alam, akan mendorong lahirnya produk kebijakan yang tidak hanya
mementingkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan dan
hak-hak dasar masyarakat, melalui minimalisasi biaya sosial, ekonomi, dan
lingkungan hidup.[28]
Selain itu, akses partisipasi dalam
pengambilan keputusan (access to participation in decision making) juga
merupakan pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak untuk berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi dalam pengambilan keputusan ini
dibagi dalam 3 bagian, yaitu:[29] Pertama,
Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam penetapan kebijakan dan
program pembangunan; Kedua, Berpartisipasi dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan; dan Ketiga, Berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan pada suatu kegiatan tertentu sesuai dengan
kepentingannya.
Dalam hal ini, dikarenakan sifatnya yang
urgen, brntuk partisipasi masyarakat adat tidak dapat dilakukan hanya mengikuti
aturan yang terdapat di dalam pasal 70 ayat (2) UU-PPLH. Yakni yang
terklasifikasi kedalam penyampai informasi. Partisipasi masyarakat adat harus
melampaui itu. Tentunya, yang dilakukan dengan diskursus yang emansipatif,
setara dan memiliki visi perubahan. Seta jenis partisipasi masyarakat dilakukan
berdasarkan kondisi yang terjadi diwilyah tersebut. Dalam hal ini, terkait
tingkatan partisipasi dapat dilihat dalam klasifikasi Shery Arstein. Arstein
megungkapkan bahwa terdapat delapat tingkat partisipasi masyrakat, yakni yang
terdeah adalah manupulation dan yang tertinggi adalah citizen control.
Sebagaimana yang terdapat pada bagan dibawah ini;[30]
Arnstein
(1969) menjelaskan kedelapan tangga tingkatan partisipasi, tersebut sebagai
berikut:[31]
PENUTUP
- Manipulasi (manipulation), merupakan partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat sebagai formalitas dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni karena hanya dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa;
- Terapi (therapy), dalam tingkatan ini pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdayaan sebagai penyakit mental dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan, namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukannya menemukan penyebab lukanya;
- Pemberitahuan (informing), merupakan pemberian informasi kepada masyarakat tentang hak, tanggung jawab dan pilihan mereka yang merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat;
- Konsultasi (consultation), dimaknai sebagai kegiatan untuk mengetahui pendapat masyarakat yang merupakan suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Namun, konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan;
- Penentraman (placation), pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat hanya diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana namun pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan.
- Kemitraan (partnership), pada tingkat ini kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat yang bersepakat untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputuan dengn aturan yang ditntukan melalui mekanisme take an give sehingga hubungan partnership dapat berjalan efektif;
- Pendelegasian kekuasaan (delegated power), dimaknai sebagai negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah yang dapat mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu;
- Kontrol masyarakat (citizen control), pada tingkat ini, masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka sehingga masyarakat dapat berhubungan langsung dengan hal-hal yang berkaitan seperti halnya sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati pihak ketiga.
Kesimpulan
Akar permasalahan krisis ekologi dan keberlanjutannya adalah pola pikir manusia yang menempatkan alam sebagai obyek yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan manusia. Juga, mis-orientasi pembangunan yang dilakukan. Pembangunan yang berorientasi profit semata mata, akan menegasikan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup. Mirisnya hal ini terjadi umum di seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia
Paradigma-paradigma yang
keliru tersebut, merupakan permasalahan yang harus diselesaikan sesegara
mungkin. Dikarenakan kerusakan lingkungan saat ini, bukan cuman mengancam
kehidupan satu dua pulau, bahkan benua, namun kerusakan lingkungan saat ini,
telah berakibat pada kerusakan Bumi. Bahkan, Fisikawan terkemuka, Sthepen
Haukings dalam sebuah wawancara di akhir 2016, menganjurlakan melakukan migrasi
ke planet lain, dikarenakan Bumi tidak layak untuk di huni lagi. Dalam hal ini,
masyarakat adat yang telah terbukti secara praksis mampu menjaga memenuhi
kebutuhan hidupnya tanpa merusak lingkungan patut kita contohkan selain itu
kita juga harus mengambil langkah langkah kongkrit lainnya. Karena kita harus
takut, dan berfikir bahwa sekarang sekarang krisis besar besaran
Rekomendasi
Rekomendasi
Dalam hal ini, dikarenakan sifatnya yang urgen, bentuk partisipasi masyarakat adat tidak dapat dilakukan hanya mengikuti aturan yang terdapat di dalam pasal 70 ayat (2) UU-PPLH. Yakni yang terklasifikasi kedalam penyampai informasi. Partisipasi masyarakat adat harus melampaui itu. Tentunya, yang dilakukan dengan diskursus yang emansipatif, setara dan memiliki visi perubahan. Seta terkait pengamplikasian, jenis partisipasi masyarakat dapat dipilih berdasarkan kondisi yang terjadi diwilyah tersebut. Bahkan jika memungkinan dapat juga di kembangkan
Oleh karennya dalam melakukan partisipasi
masyarakat adat, perlu dilakukan terlebih dahulu terkait permasalahan yang
terjadi. Baik terhadap keadaan SDA maupun terkait kondisi Masyarak terdapat di
wilayah tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk, ketika dalam melakukan partisipasi
masyarakat hal tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat ditempaat itu,
sehingga nantinya partisipasi yang dilakukan dapat berdaya Guna.
Daftar Pustaka
Alwi Alu, Thanos, Krisis ekologi dan masa
depan bumi, diakases dari https://www.mongabay.co.id/2019/01/01/thanos-krisis-ekologis-dan-masa-depan-bumi/ pada tanggal 11 Juni 2019.
Arya Hadi Dharmawan, Dinamika
Sosio-Pedesaan,Prespektif Dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusa, Sosiologi
Lingkungan Dan Ekologi Politik, (Issn:Vol.
01, No 1.).
Bambang Widianto Dan Iwan Meulia Pirous, Prespektif Budaya,
(Jakarta, PT Raja Grafindo: 2009)
Diakses Dari; Http://Nasional.Kompas.Com/Read/2017/01/25/22215571/Aleta.Baun.Pejuang.Lingkungan.Asal.Ntt.Raih.Yap.Thiam.Hien.Award.2016 Pada Tanggal 11 Juni 2019.
Farma Rahayu, aspek hukum peran serta
masyarakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, diakses
dari https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/ethos/article/download/1604/pdf pada tanggal 10 Juni 2019.
Fauziah hambani, partisipasi penyedia
jasa wisata dalam pengelolaan lingkungan hidup, desa wisata malasari,
kecamatan nanggung, kabupaten bogor, (Boogor, Institute Pertanian Bogor:
2018).
Hesti Puspitosari, khalikussabir, luthfi J. Kurniawan, filosofi
pelayanan public “buramnya wajah
pelayanan menuju perubahan paradigm pelayanan public” (malang: setara press
& MP3, 2012).
Jawahir Thontowi, Pengaturan Masyarakat Adat Dan Implementasi
Perlindungan Hak Hak Tradisionalnya, (Jurnal Unnes, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia; Volume
10. Nomor 1. June 2015).
Nur Fauzi Rahman dan Mia Siscawati Masyarakat Hukum Adat “Adalah
Penyandang Hak, Subjek Hukum, Dan Pemilik Wilayah Adat (Yogyakarta:
Insistpress 2014).
Raynaldo Sembiring, Yustisia Rahman, Elizabeth, Napitupulu,
Margaretha Quina, dan Rika Fajrini, anotasi undang undang nomor 32 tahun 2009,
tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup.
Satya Laksana, Partisipasi siswa dalam
implementasi plh (pendidikan lingkungan hidup) di SMP Negeri 7 Yogyakarta,
(Yogyakarta: universitas negeri yogyakarta, 2017).
Ton Dietz, Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam, Kontur Geografi
Politik, (Yogyakarta, Insist Press) 2005.
UUD NRI 1945 Perubahan
Ke 4 (Empat) Tahun 2002
Undang undang nomor 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup.
Yulan
Sadono, Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu
di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, (Jurnal Pembangunan Wilayah
dan Kota; 2013).
[2] Preambul UUD
1945.
[3] Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945.
[5] Hesti
Puspitosari, khalikussabir, luthfi J. Kurniawan, filosofi pelayanan public “buramnya wajah pelayanan menuju perubahan
paradigm pelayanan public” (malang: setara press & MP3, 2012) hlm,3-4.
[6] Farma Rahayu,
aspek hukum peran serta masyarakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, diakses dari https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/ethos/article/download/1604/pdf pada tanggal
10 Juni 2019.
[7] Jawahir Thontowi, Pengaturan Masyarakat Adat Dan
Implementasi Perlindungan Hak Hak Tradisionalnya, (Jurnal Unnes, Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia; Volume 10. Nomor 1. June 2015), hlm.04
[8] Nur Fauzi
Rahman dan Mia Siscawati Masyarakat Hukum Adat “Adalah Penyandang
Hak, Subjek Hukum, Dan Pemilik Wilayah Adat (Yogyakarta: Insistpress 2014), hlm. 6-7
[10] Arya Hadi Dharmawan, Dinamika
Sosio-Pedesaan,Prespektif Dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusa, Sosiologi
Lingkungan Dan Ekologi Politik, (Issn:Vol.
01, No 1.), hlm.30
[12] Ton Dietz, Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam,
Kontur Geografi Politik, (Yogyakarta, Insist Press) 2005, hlm. 35-36
[13] Ibid, hlm.36-37
[14] Ibid hlm.40
[15] Undang undang
nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup.
[16] Ibid,
[17] Ibid,
[18] Ibid,
[19] Yulan Sadono,
Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu di Desa
Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, (Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota;
2013), hlm, 55.
[20] Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945.
[21] Raynaldo
Sembiring, Yustisia Rahman, Elizabeth, Napitupulu, Margaretha Quina, dan Rika
Fajrini, anotasi undang undang nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan
pengelolahan lingkungan hidup, h, 73.
[22] Bambang
Widianto Dan Iwan Meulia Pirous, Prespektif Budaya, (Jakarta : PT Raja
Grafindo), 2009, hlm.235-236
[23] Diakses Dari; Http://Nasional.Kompas.Com/Read/2017/01/25/22215571/Aleta.Baun.Pejuang.Lingkungan.Asal.Ntt.Raih.Yap.Thiam.Hien.Award.2016 Pada Tanggal 11 Juni 2019.
[24] Diakses
dari; https://medium.com/merah-muda-memudar/mengenal-yosepha-alomang-dan-aleta-baun-pahlawan-lingkungan-dari-timur-ce6239ff9355 pada 11 Juni
2019.
[25] Alwi Alu,
Thanos, Krisis ekologi dan masa depan bumi, diakases dari https://www.mongabay.co.id/2019/01/01/thanos-krisis-ekologis-dan-masa-depan-bumi/ pada tanggal
11 Juni 2019.
[26] Raynaldo
Sembiring, Yustisia Rahman, Elizabeth, Napitupulu, Margaretha Quina, dan Rika
Fajrini, anotasi undang undang nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan
pengelolahan lingkungan hidup, hlm, 72.
[27] Ibid, hlm, 73.
[28] Ibid, hlm, 73.
[29] Ibid, hlm, 73.
[30] Satya Laksana,
Partisipasi siswa dalam implementasi plh (pendidikan lingkungan hidup) di SMP
Negeri 7 Yogyakarta, (Yogyakarta: universitas negeri yogyakarta, 2017), hlm,
36.
[31] Fauziah hambani, partisipasi
penyedia jasa wisata dalam pengelolaan lingkungan hidup, desa wisata
malasari, kecamatan nanggung, kabupaten bogor, (Boogor, Institute Pertanian
Bogor: 2018), hlm, 10-11.
tulisan, di buat sebagai persyaratan untuk mengikuti KALABAHU LBH Surabaya
BalasHapus