Dominasi Antroposentris Ethics pada Kebakaran Hutan dan Lahan Di Kalimantan & Sumatra.
Tindakan seseorang, sedikit banyak dipengaruhi oleh cara
berfikirnya. Baik dalam melakukan sesuatu maupun dalam merespon sesuatu. Hal
ini sebagaimana yang di ungkapkan oleh Iris Murdoch dalam buku etika sosial,
bahwa “ Cara berfikir merupakan cara kita berada” (Jenny Teichman, 1998; h,03).
Menurutnya, fikiran memiliki peran yang cukup signifikan dalam mempengaruhi
setiap tindakan.
Cara berfikir yang keliru, akan berakibat pada perbuatan yang keliru pula. Dalam diskursus
lingkungan hidup, terdapat beberapa bentuk pola pikir (paradigma) yang sering
kita temui. Yakni, antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme
serta deep ecology yang diusung oleh Arne Naess. Sedangkan Ton Diez
dalam buku “pengakuan hak atas sumber daya alam; kontur geografi politik
lingkungan”. Mengklasifikasi paradigma dalam diskursus lingkungan hidup
meliputi, antroposentrisme, eko-sentrime atau eko-developmentalisme,
eko-fasis dan eko-populisme.
Berbagai, macam paradigma tersebut, merupakan cara pandang manusia
dalam melihat maupun memposisikan dirinya dengan kesatuan ekologis yang lain.
Hal ini pun dapat kita lihat pada kebakaran hutan dan lahan di kalimantan
sampai sumatera (karhutla). Dalam hal ini, karhutla yang terjadi di Kalimantan
sampai Sumatra, memang merupakan persolan yang sangat urgen untuk diselesaikan
secepatnya. Sebab, karhutla yang terjadi pada saat musim kemarau ini,
menimbulkan asap tebal yang mengancam hak untuk memperoleh lingkungan hidup
yang baik dan sehat dari masyarakat sekitar meliputi Riau, Kalimantan Tengah,
dan Kalimantan barat serta imbasnya pun sampai di Negara Tetangga.
Namun, bagaimana pun itu. Kita harus tetap berfikir dengan rasioanl
terkait dengan sebab dari karhutla dan bagaiamana cara untuk mengantisipasinya
tanpa mendiskrediktan hak-hak para korban. Adapun, sebagaimana yang di
sampaikan dalam artikel “penyebab dan akibat kebakaran hutan di Kalimantan
hingga Sumatera (tirto.com;17/09/19)” bahwa akibat dari karhutla ialah adanya
indikasi praktik “leand clearing” dengan cara mudah dan murah, dengan
memanfaatkan musim kemarau. Selain itu, menurut Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK, Ruandha Agung
Sugardiman, selain El Nino yang membuat curah hujan minim, insiden kebakaran di
Australia diduga turut membuat potensi karhutla di Indonesia membesar.
Secara paradigmatik, praktik leand
clearing dipengaruhi oleh paradigma antroposentrisme, yakni yang
menempatkan lingkungan sebagai objek yang pemenuhan kebutuhan manusia yang
berorientasi profit. Dalam hal ini, dapatlah kita ketahui bahwa pola pikir
masyarakat maupun pelaku usaha (korporasi) masih sangat antroposentris.
Bahkan hal ini diparah dengan sikap dari Moeldoko selaku Kepala
Staf Kepresidenan, Dia malah menganjurkan masyarakat agar bersikap magis (model
kesadaran Paulo Friera) dalam menaggapi karhutla di kalimantan. Sebagaiaman yang di sampaikan
dalam cuitan-nya di media sosial (twiter), “dan yang perlu kita lakukan
bukannya mengeluh tapi berusaha menjalaninya dengan ikhlas dan berdoa meminta
pertolongan Allah SWT. Termasuk musibah yang menimpah Pekanbaru, Riau yang
sedang terjadi juga pun datangnya dari Allah SWT”. Pernytaan Moeldoko tersebut
tidak hanya mengaburkan persoalan namun juga mengajak masyarakat untuk mundur
lebih jauh dalam memahami sebab dari karhutla di Kalimantan dan Sumatera.
Selain itu, upaya penindakan Presiden Jokowidodo atas kebakaran
hutan patut diapresiasi, yakni dengan menurunkan 5,600 personil tambahan dan
perlengkapan pemadaman (water bombing) untuk menghentikan penyebaran karhutla.
Namun basis nilai yang terdapat di dalamnya. Belum merepresentasi lingkungan
sebagai satu kesatuan yang saling terkait dengan manusia. Sebab kepentingan
lingkungan tidak ada dalam agenda, Jokowi ke salah satu lokasi titik kebakaran
(Desa Merbau, Kec. Bunut, Kab. Pelalawan, Riau)
Apa kepentingan lingkungan itu, sebagaimana yang di ungkapkan oleh
Jimly Ashadiqie dalam buku “Green Constitution”, bahwa lingkungan sebagai
subyek hukum di indonesia, memiliki hak yang dikaitkan dengan penerima manfaat
dari lingkungan itu sendiri (nilai intrinsik). Jadi, yang dimaksud dengan
kepentingan lingkungan adalah upaya untuk menjaga lingkungan hidup tetap lestari,
sehingga dapat di nikmati oleh generasi saat ini dan massa depan.
Secara otomatis, ruang hidup dari satwa satwa di Kalimantan dan
Sumatera yang telah terbakar harus dikemabalikan lagi. Bukan malah dijadikan
sebagai lahan untuk perkebunan kelapa sawit ataupun dibiarkan begitu saja. Akan
tetapi Pemerintah harus mengintervensi upaya percepatan pengembalian ruang
hidup satwa2 asli indonesia yang terancam punah yang terdapat di Kalimantan dan
Sumatera.
Adapun dari pihak masyarakat, dilihat dari tertangkapnya beberapa
oknum yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan, serta sikap masyarakat
yang mengeluh atas asap tebal dan penyebaran debu yang di akibatkan oleh karhutla.
Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Pemerintah baik PEMDA (provinsi maupun
kabupaten) serta Pemerintah Pusat. Yakni masih condong pada paradigma
Antroposentrisme.
Dalam hal ini, baik Pemerintah maupun Masyarakat, sikapnya telah
meniadakan eksistensi alam sebagai ientitas yang eksis. Seoalah olah yang
menderita atas karhutla hanyalah Manusia. Padahal, makhluk hidup lainnya pun
mengalami akibat yang bahkan lebih buruk dari yang di alami Manusia. Jika
Manusia merasa terganggu dan menderita sakit akibat asap tebal dan penyebaran
debu. Makhluk hidup lainnya mengalami penderitaan yang lebih dari itu. Yakni
kehilangan ruang hidupnya.
Dapatah kita hui bahwa dominasi antroposentris ethics, tidak
hanya dalam hal tindakan pembakaran hutan, namun juga dalam menilai dampak dan
sikap untuk mengatasi KARHUTLA. Sebagaimana sikap Moeldoko maupun upaya
Presiden Ri untuk melakukan penindakan terhadap penyebaran api. Dalam berbagai
sikap itu, hampir tidak terdengar posisi makhluk hidup beserta lingkungan.
Hampir semuanya, tentang kepentingan manusia. Begitupun masyarakat, yang dimana
memposisikan bahwa korban dari karhutla hanyalah manusia sendiri.
Apakah tidak ada yang memposisikan makhluk hidup lainnya sebagai
pihak yang dirugikan. Dalam pencarian penulis, hanya terdapat satu lembaga yang
memasukan posisi Mahluk hidup lainnya dalam diskursus karhutla di Kalimantan
dan Sumatera. Yakni, Green Piece Indonesia. Dalam postingannya di situs resmi
Green Piece Indonesia. Mereka menyampaikan bahwa; “kebakaran hutan tidak hanya
mengancam kehidupan manusia melalui polutan di kabut asapnya, tetapi juga
mengancam keberlangsungan satwa liar, asli indonesia yang terancam punah”.
Jika, pola pikir kita masih di dominasi oleh paradigma
antroposentris, kedepan bukan hanya kebakaran yang menjadi masalah kita. Akan
tetapi juga akan terdapat model lainnya, sebab alam masih dipandang sebagai
objek untuk memenuhi keinginan manusia. Tanpa mempertimbangkan daya dukung dan
daya tampung dari lingkungan.
Komentar
Posting Komentar