Hukum Dan Hak Asasi Manusia : Konsepsi Dan Realitas



Di buat untuk menjadi bahan diskusi di FGD Hukum yang di laksanakan oleh bidang P3A Komisariat syaeko

HAK ASASI MANUSIA (HAM)

HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.[1]

Sedangkan menurut yance Arizona dalam artikel “positivisasi hak asasi manusia” HAM adalah klaim yang dapat dipaksakan sebagai konsekuensi penanda kemanusiaan yang bersifat kodrat. Dalam definisinya yang kodrat, HAM melekat pada manusia sebagai subjek pengemban hak semenjak manusia dapat dikategorikan sebagai manusia di dalam kandungan. Hak tersebut juga tidak dapat dicabut, dialihkan dan dibagi-bagi.[2]

Ham sendiri telah di kondifikasi atau dalam berbagai pertauran, dalam hal ini dapat kita temui di dalam Piagaman Madinah, DUHAM, Magna Cahrta, dan berbagai peraturan lain baik skala global maupun nasional dan local. Secara historis, dalam perumusan DUHAM sendiri tidak terlepas dari Suasana Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.

Perang yang di ketahui sebagai perang dunia ke II ini telah mewarnai penurunan DUHAM ke dalam instrumen Hukum HAM Internasional. Pertarungan antara ide sosialisme (Blok Timur) dan individualisme liberal (Blok Barat) pun mewarnainya. Hal tersebut menjadikan instrumen hukum sebagai turunan dari DUHAM dalam bentuk kovenan menjadi Kovenan Sipol dan Kovenan Ekosob.

Kovenan Sipol pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparatur represif negara. Sehingga dalam hal ini hak-hak yang diatur di dalamnya disebut juga hak-hak negatif (negatif rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang diatur dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Sedangkan kovenan Ekosob justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran minus. Sehingga hak-hak di dalam kovenan Ekosob disebut juga hak-hak positif (positif rights).[3]

Secara umum The international convention economic, social, and culture right (ICESCR) adalah sumber utama dalam perlindungan hak ekonomi, social dan budaya yang terdiri dari 31 pasal yang diatur dalam 6 bagian. Inti dari konvensi ini terletak pada bagian ke III (pasal 6-15) yang menguraikan gak hak yang di lindungi, yaitu: ha katas pekerjaan, ha katas kondisi kerja yang layak (pasal 7), hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (pasal 8), ha katas jaminan social (pasal 9), ha katas perlindungan bagi keluarga (pasal 10), ha katas standar hidup yang layak, termasuk ha atas pangan, pakaian, dan tempat tinggal, (pasal 11), ha katas kesehatan (pasal 12), ha katas pendidikan (pasal 13), ha katas kebudayaan (pasal 15).[4]

Dinamika tentang HAM tidak hanya terbatas pada pemisahan konvenan ekosob dan konvenan sipol tetapi juga terdapat perbedaan pandangan yang lain yakni antara particular/relatif dan universal. Perbedaan pandangan ini di didasarkan pada perbedaan budaya. Lebih detailnya sebagaimana yang di ungkapkan oleh Yance Arizona di dalam artikel “Postivisasi HAM” yakni sebagai berikut:

Pandangan yang berpandangan particular belandasi gagasannya dengan beberapa hal yakni: (a) bahwa DUHAM yang mengklaim diri sebagai universal itu hanya dibuat oleh beberapa negara yang dimotori oleh negara-negara yang menang perang dan menggambarkan nilai-nilai individualisme liberal masyarakat barat; (b) DUHAM tidak melihat kekhasan budaya yang terdiferensiasi berdasarkan budaya dan ruang geografik; serta (c) terdapat perbedaan pendekatan dalam melihat hak asasi manusia.

Berbeda dengan pihak yang mendukung universalitas DUHAM menyatakan: (a) bahwa Mesir dan Libanon berkontibusi besar dalam penyusunan DUHAM, sehingga DUHAM bukanlah dominasi barat, bahkan rumusan tentang kebebasan beragama merupakan bukti bahwa DUHAM juga mengadopsi nilai-nilai yang berakar dari luar barat; (b) bahwa budaya itu bersifat dinamis sehingga klaim karakteristik budaya suatu komunitas, etnis atau negara bersifat tetap dan utuh terbantahkan, karena anggapan bahwa suatu masyarakat memiliki satu nilai hanyalah merupakan klaim yang kurang berdasar; serta (c) perbedaan pendekatan yang mendikotomi Hak Sipol dan Hak Ekosob dalam praktiknya tidaklah sediametral itu, karena misalkan, bila di negara sosialis hak atas pendidikan itu dimasukkan ke dalam ranah Hak Ekosob, dalam masyarakat liberal, hak atas pendidikan itu dimasukkan ke dalam Hak Sipol. Jadi, baik di barat maupun di timur, hak atas pendidikan itu sama-sama diakui meskipun dikonstruksi dalam pendekatan yang berbeda.[5]

HUKUM & HAM

Sebagaimana yang terdapat di dalam artikel yang di tulis oleh yance Arizona bahwa telah berabad-abad, persoalan hak manusia dinstrumentalisasi di dalam hukum-hukum nasional atau konstitusi negara. Pola inipun sudah ada sejak hukum tertulis tertua, yaitu Kodifikasi Urukagina (2350 SM) di kota kuno Sumeria di Mesopotamia Selatan. Kode Hammurabi di Babilonia adalah kodifikasi nomor lima tertua (1700 SM). Pola itu berlangsung sampai kepada negara modern. Baru pada 10 Desember 1948 disepakatilah Deklarasi Nasional Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh negara-negara yang tergabung di dalam PBB. Sejak saat itu, beberapa hak warga negara disarikan dan dinaikkan menjadi hak asasi manusia secara internasional dan bersifat positif.[6]

Dalam prespektif hukum pembahasan terkait HAM tidak akan terlepas dari berbagai peraturan perundang undangan[7]. hal ini di karnakan ketika kita berbicara tentanh hukum hal yang terlintas di dalam benak kita ilaha sebuah aturan, sanksi dll.[8] Tetapi hal yang pasti ialah bahwa di dalam hukum itu sendiri di butuhkannya sebuah kepastian, kemanfaatan dan keadilan, untuk mewujudkan kepastian itu di perlukan sebuah aturan tertulis namun dalam proses pembuatan uu harus di perhatikan juga aspek kemanfaatan dan keadilan.

Keterkaitan antara hukum dan ham ialah bagaimana kemudia hak hak asasi manusia dari setiap warga di suatu negara dapat terlindungi/di jamanin di dalam aturan perundang undangan. Hal ini sebagaimana yang di gagas oleh Thomas Hobbes dan jhon lock.

Dalam hal ini sebagaiana yang ditulis di dalam artikel “Positivisasi HAM” oleh yance Arizona bahwa dalam pandangan hobbes, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (Homo Homini Lupus). Manusia menjadi makhluk yang penuh ambisi yang berkontestasi dengan manusia lainnya dalam melakukan akumulasi untuk kepuasan hidupnya. Dalam situasi yang seperti ini sistem sosial adalah anarki, maka untuk menjamin terciptanya ketertiban diperlukan suatu organsasi lebih besar dari sistem sosial masyarakat yang dapat melakukan paksaan. Organisasi yang dianggap mampu melaksanakan paksaan itu adalah Negara.

John Locke pun memiliki pandangan hampir sama dengan Hobbes yang menganggap manusia adalah makhluk atau individu yang bebas melakukan atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan keinginannya. Locke berpendapat  kebebasan manusia itu dalam bentuk kesejajaran yang relasinya bersifat konstruktif. Makna relasi yang konstruktif itu dimanifestasikan dalam bentuk hukum yang diorganisir oleh badan yang berbentuk Negara. Dalam pandangan hobbes dan locke tersebut dapat kita garis bawahi bahwa negara perlu ada untuk menjaga agar tidak ada orang lain yang dengan semena mena (ego pribadi) merampas hak hak asasi pihak lainnya dan hadirnya negara juga  dapat memnjamin  berjalannya tujuan social yang di sepakati bersama.[9]

Di karnakan di dalam hukum terdapat unsur kepastian maka berbagai peraturan perundang undangan di bentuk dan dalam pembentukan peraturan perundang undangan, di Indonesia terdapat perbedaan dengan negara negara lain. Hal ini di karnakan Indonesia menganut system yang mencampurkan antara system presidensil dan parlementer Yakni terdapat peran legislative dan eksekutif.

Jadi dalam konteks Indonesia Undang-undang  adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta, untuk UU tertentu, melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)[10]  Secara garis besar proses pembentukan undang-undang terbagi menjadi 5 (lima) tahap, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan[11], yakni dapat di deskripsikan sebagai berikut;

Tahap pertama yakni perencanaan, yakni merupakan proses pembuatan RUU untuk di susun dalam jangka waktu 5 tahun (Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan tiap tahun oleh DPR dan Pemerintah. Tahap kedua penyusunan, dalam hal ini yaitu merupakan tahap pembuatan naskah akademik, naskah RUU, serta harmonisasi pembuatan dan pemantapan konsepsi. Tahap ke tiga pembahasan, membahas daftar inventarisasi masalah di dalam RUU dan ke empat pengesahan yakni penandatanganan presiden dan naskah RUU yang telah di sepakati bersama antara DPR dan Presidan. Kelima pengundangan yaitu penetapan UU yang sudah di sahkan di dalam lembaran negara.

Peraturan Prundang Undangan Terkait HAM Dan Problematikanya

Berbicara tentang peraturan perundang undangan di suatu negara tidak akan bisa dipisahkan dari landasan konstitutifnya. Hal ini di karnakan konstitusi merupakan dasar dan landasan / pedoman dalam membuat peraturan perundang undangan. Oleh karna itu ketika kita berbicara tentang HAM disuatu negara, apalagi di kaitkan dengan peraturan perundang undangan, sudah sepatutnya kita melihat landasannya di dalam UUD 1945 (jika di Indonesia).

Pengaturan tentang HAM sendiri di dalam UUD 1945 dapat di lihat pada pasal 28A, pasal 28 B, pasal 28 C, pasal 28 D, pasal 28 E, pasal 28 F, pasal 28 G, pasal 28 H, pasal 28 I pasal 28 J. yang kesemuanya di klasifikasikan sebagai hak sipol. Sedangkan hak ekosob terdapat pada pasal 33, pasal 31, pasal 32, dan pasal 34.


Dengan adanya berbagai peraturan tersebut di harapkan bahwa hak asasi manusia baik ekosob dan sipol mendapat jaminan yang pasti. Namun hal ini menjadi paradox bila kita melihat realitas. Seolah olah terdapat dikotomi yang sangat besar antara low in the book dan low in the action atau antara das sollen dan das sein.

Hal ini menjadi mungkin karna terdapat berbagai kasus yang menggambarkan sebuah peristiwa yang dimana hak asasi manusi tidak di hargai sama sekali, semisal beberapa peristiwa berikut : (1). Seminar 'Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66' di LBH Jakarta yang ditunda setelah kepolisian dan sejumlah anggota organisasi masyarakat mencegah acara tersebut. Hal ini pun telah membuat hukum dan perlindungan HAM serta hak kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berekspresi terabaikan.[14] (2). kriminalisasi pejuang lingkungan tumpeng pitu banyuangi. (3). penangkapan mahasiswa papua yang melakukan aksi penolakan terhadap new York agreement. Yakni perjanjian antara belanda dan Indonesia  terkait sengketa wilaya west new guinea (papua barat). Dan berbagai pelanggaran HAM lainnya semisal yang bertepatan dengan peristiwa 65 98 dll.



[1] Uu no 39 tahun 1999 tentang HAM
[3] Di akses dari https://yancearizona.net/2008/06/05/hak-sipil-dan-politik/ pada tanggal 14 april 2017
[4] Heribertus jaka triyana dan aminoto: implementasi standar internasional hak ekosob oleh pemerintah provinsi  DIY h,615
[5] Diakses dari : https://yancearizona.net/2008/04/18/positivisasi-hak-asasi-manusia/ pada tanggal 19-september-2017
[6] Di akses dari: https://yancearizona.net/2008/04/18/positivisasi-hak-asasi-manusia/ pada tanggal 19-september-2017
[7] Untuk hierarki peraturan perundang undangan dapat di lihat di UU no 12/2011 pasal 7
[8] Untuk definisi tentang hukum tidak ada definisi yang baku.
[9] Diakses dari: https://yancearizona.net/2008/04/18/positivisasi-hak-asasi-manusia/ pada tanggal 19-september-2017
[10] DPD hanya terlibat dalam proses pembentukan undang undang yang berkaitan dengan: otonomi daerah. hubungan pusat dan daerah. pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah. Pengelolaan sda, dan sumber ekonomi lainnya. Perimbangan keungan pusat dan daerah.
[11] Diakses dari http://peraturan.go.id/welcome/index/prolegnas_pengantar.html pada tanggal 19-september-2017
[12] Lihat hierarki peraturan perundang undangan pada pasal 7 uu no 12 tahun 2011
[13] Di akses dari: https://www.komnasham.go.id/index.php/peraturan-1/ pada tanggal 19-september-2017
[14] Di akses dari: megapolitan.kompas.com/read/2017/09/16/21491571/kontras-pembubaran-diskusi-di-lbh-adalah-watak-rezim-antidemokrasi pada tanggal 19-september-2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Urgensi Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup Prespektif Ekopopulisme.

Mahasiswa Dan Politik Mahasiswa

CERITA hingga SENJA