Krisis Ekology: Kepentingan Bersama, Tanggung Jawab Bersama.



Secara etimologi, lingkungan hidup berarti suatu habitat, tempat tinggal atau rumah tempat tinggal (oikos). Tetapi, dalam tulisan ini, oikos tidak dipahami sekadar sebagai lingkungan sekitar di mana manusia hidup. Namun, Oikos dipahami sebagai keseluruhan alam semesta dan seluruh interaksi saling pengaruh yang terjalin di dalamnya. Antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan dengan keseluruhan ekosistem atau habitat.[1]  Penggunaan terminologi ini, berakibat pada konsepsi kita dalam memaknai lingkungan hidup. Sederhanya, prespektif kita dalam memaknai lingkungan lebih luas lagi. Karena, melingkupi keseluruhan alam sesemesta dan interaksi saling pengaruh yang terjadi didalamnya.

Artinya, jika terjadi pencemaran ataupun kerusakan lingkungan (krisis ekologi) maka persoalan tersebut, dapat kita maknai sebagai persoalan bersama, bukan hanya persoalan komunitas tertentu, atau negara tertentu, akan tetapi meruapakan persoalan semua umat manusia yang ada di bumi ini. Dikatakan, demikian, karena penerima manfaat, dari lingkungan hidup yang baik dan sehat. Baik, secara langsung maupun tidak langsung adalah manusia di seluruh belahan dunia.

Hal ini, menjadi penting dikarenakan, dewasa ini, kita mengalami satu kondisi yang benar benar darurat.! Sebagaimana yang di ungkapkan oleh In’amul Mushoffa, dengan mengutip perkataan dari Sthepen Haukins, yakni; Perhaps in a few hundred years, we will have established human colonies amid the stars… (Mungkin dalam beberapa ratus tahun, kita akan membangun koloni manusia di tengah bintang-bintang)”. Menurut Sthepen, bahwa kiamat bumi ini di dorong oleh faktor faktor berikut;[2]
  •  Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global;
  • Menurunnya produksi pangan yang menyebabkan kelaparan di sejumlah kawasan dan konflik agraria;
  •  Kelebihan populasi manusia yang meningkatkan tingkat kemiskinan, pengangguran dan kriminalitas;
  • Penyakit epidemik yang dapat memusnahkan populasi manusia secara cepat; dan
  • Perang nuklir yang dapat menyebabkan kepunahan umat manusia dalam sekejap.

Dikarenakan, pemansan global menjadi salah satu faktornya. Oleh karena itu, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Syahrul Mahmud, dalam buku “penegakan hukum lingkungan hidup”, Ia mengatakan, bahwasanya; “Dalam hal melihat dampak kerusakan lingkungan maka gunakan prespektif yang berskla global dan jika ingin berkontribusi dalam menyelesaiakan masalah krisis ekologi maka gunakan prespektif yang berskala regional.[3] Maksud yang disampaikan, oleh Syahrul bahwa; persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan global, hal ini dikarenakan dampak dari adanya krisis ekology, akan dirasakan secara luas. Dampak dari perubahan iklim, yaitu:[4]

  • Pola hujan, hujan salju dan hujan es telah mengalami perubahan. Sebagian daerah di dunia mengalami hujan lebih banyak dari biasanya, dan hujannya pun lebih lebat, sementara bagian dunia lain mengalami hujan yang lebih sedikit.
  • Peristiwa cuaca ekstrim seperti badai yang lebih dahsyat, kekeringan, gelombang panas dan hujan lebih sering terjadi. 
  • Tutupan salju di gunung-gunung yang sangat tinggi semakin menipis dari sebelumnya dan glasier sedang mencair dengan cepat. 
  • Banyak negara kepulauan menghadapi bahaya besar karena permukaan laut terus naik. Permukaan laut akan naik jika es di kedua kutub bumi mencair seiring dengan kenaikan suhu.
  • Terumbu karang di lautan sekarat karena pemanasan suhu lautan dan peningkatan asam dalam air laut.

Namun, perlu diingat, terkait dengan upaya menjaga lingkungan hidup maka gunakanlah pandangan pandangan yang berskala regional. Artinya, jagalah lingkungan hidup di sekitar anda, dengan demikian, anda telah bersumbangsi dalam menjaga bumi ini. Namun, bukan berarti kita menutup mata dari persoalan-persoalan struktural. Karena, krisis ekologi, bencana alam, bukan hanya persoalan yang semata-mata alamiah. Akan tetapi, terkadang juga, terdapat campur tangan manusia (struktur sosial; kebijakan) yang mempercepat bahkan yang menciptakan bencana itu sendiri.

Padangan seperti ini, bukan merupakan pandangan yang tidak berlandasan akan tetapi merupakan pandangan yang bersandar pada pendekatakatan ekologi politik. Dalam hal ini, pendekatan Ekologi politik itu; mengkaji relasi manusia dan alam. Yakni dengan menganalisis bangunan sosial yang membentuk akses dan kontrol terhadap sumber daya alam (SDA). Karena itu, tak terhindarkan bila pendekatan ini menyorot konflik dalam hal distribusi manfaat dan beban yang di timbulkan oleh perubahan lingkungan dan sosial. Dalam hal ini, distribusi kekuasaan yang biasanya timpang, sangat berperan dalam membentuk konsekuensi dan kecendrungan perubahan lingkungan.[5]

Lebih jauh, ekologi politk menelusuri jejak penyebab degradasi lingkungan, hingga ke sistem yang lebih luas. Penyebab degradasi lingkungan, misalnya, ditelusuri hingga ke beragam skala. Disini biasanya terlihat bahwa “struktur eksternal” (seperti institusi negara atau pasar global) menjadi pembentuk kerangka insentif yang menekan aktor nasional dan lokal untuk bertindak sesuai keinginan struktur tersebut.[6] Oleh karena itu, kita harus bersama-sama melakukan berbagai upaya untuk menjaga lingkungan hidup tetap aman dan baik. Bukan mencoba mengambil keuntungan pribadi, ataupun pelimpahan kewajiban ke pihak tertentu untuk menjaga dan melindungi lingkungan hidup sementara kita terus melakukan eksploitasi dan eksplorasi terhadap sumber daya alam. Seperti, yang ada pada REDD & REDD+. Akan tetapi, kita harus, sama-sama untuk turut menjaga, melindungi serta memperbaiki alam. Hal ini dikarenakan akan terjadi perubahan radikal, global dan tiba tiba, yang menuntut respon serius dari seluruh pihak secara global (neo-catastrophism).[7] Dalam hal ini lebih baik mencegah dari pada mengobati, maka upaya menjaga dan melindungi harus dilakukan sesegera mungkin.!

REDD (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara-Negara Berkembang), muncul sebagai inisiatif Internasional untuk membantu mengatasi masalah hilangnya hutan. Prinsip yang mendasari REDD adalah bahwa negara-negara berkembang yang menghindari emisi dengan melindungi dan melestarikan hutan hendaknya menerima penghargaan atau imbalan moneter dari sumber keuangan internasional.[8] Motodenya, yakni melalui perbaikan manajemen hutan, seperti pengurangan konversi hutan ke nonhutan dan pengendalian pembalakan liar.[9]

Ide mendasar dari REDD yaitu: Negara-negara yang berkeinginan dan mampu untuk mengurangi emisi dari deforestasi hutan harus diberikan kompensasi secara finansial untuk melakukan hal tersebut. REDD memberikan sebuah kerangka kerja baru bagi negara-negara penebang hutan untuk dapat menghentikan trend lama ini.[10] Sedangkan REED+, lebih luas lagi, yakni dengan meluaskan cakupan dari REDD. Yaitu, melampaui deforestasi dan degradasi hutan yang berhasil dihindari dengan memasukan kegiiatan restorasi, rehabilitasi, manajemen berkelanjutan dan deforestasi.[11] Perluasan ini bertujuan untuk mencegah pengembangan mekanisme yang hanya akan memberikan penghargaan atau imbalan kepada negara negara yang secara historis memiliki tingkat deforestasi/degradasi tinggi (dengan mengukur emisi yang mereka hindari), mendukung mekanisme yang juga akan memberikan insentif kepada negara-negara yang secara historis memiliki tingkat deforestasi yang rendah untuk melanjutkan perlindungan atau pengelolaan hutan lestari mereka.[12]

Dalam hal ini Hutan menjadi obyek pelaksanaan REDD dan REDD+, dikarenakan secara faktual luas dari hutan tropis sekitar 15% permukaan bumi dan mengandung 25% karbon di biosfer terrestrial. Namun, hutan tersebut terus dirambah dan ditebang yang mengakibatkan emisi panas karbon dioksida terperangkap di atmosfer. Sekitar 13 juta hektar hutan seluas negara Nikaragua telah dikonversi menjadi lahan pemanfaatan lainnya. Jumlah ini adalah seperlima dari emisi karbon keseluruhan, yang mengakibatkan perubahan lapisan tanah dan merupakan penyumbang terbesar kedua penyebab pemanasan. Hutan oleh karena itu berperan penting dalam setiap inisiatif untuk mengatasi perubahan iklim. Dalam hal ini hutan juga, langsung mendukung mata pencaharian 90% dari 1,2 milyar orang yang hidup di ambang batas kemiskinan dan merupakan rumah bagi hampir 90% dari keanekaragaman hayati terrestrial bumi. Semisal, Masyarakat lokal yang bergantung pada hutan sebagai sumber bahan bakar, makanan, obat-obatan, dan tempat perlindungan. Kehilangan hutan berarti akan menghancurkan upaya penuntasan kemiskinan. Orang-orang pribumi dan bergantung kepada hutan merupakan penjaga hutan mereka, yang memberikan umat manusia lainnya jasa lingkungan (ES) yang penting. Perubahan iklim akan menghancurkan kehidupan orang-orang miskin dan oleh karena itu mengurangi laju deforestasi hutan akan membantu membangun daya tahan mereka terhadap dampak iklim.[13]

Adapun penyebab dari deforestasi hutan bermacam-macam dan kompleks serta bervariasi dari satu negara ke negara lain. Tekanan lokal muncul dari masyarakat yang memanfaatkan hutan sebagai sumber bahan pangan, bahan bakar, dan lahan pertanian. Kemiskinan dan tekanan penduduk dapat mengakibatkan hilangnya lapisan hutan, yang kemudian membuat orang terperangkap dalam kemiskinan yang terus menerus. Sementara jutaan orang masih menebang pohon untuk menghidupi keluarganya, penyebab utama deforestasi hutan saat ini semakin meluas yaitu meningkatnya aktifitas pertanian berskala besar yang didorong oleh permintaan konsumen. Di Amerika Selatan, pendorong laju deforestasi hutan merupakan perusahaan pertanian berskala besar yang memproduksi daging sapi dan kedelai untuk pasar ekspor. Di Asia Tenggara, pendorongnya ada di antara dua hal yaitu minyak kelapa sawit, kopi, dan kayu sebagai produk utama. Permintaan untuk kayu juga mendorong laju deforestasi hutan dan oleh karena itu menyumbang emisi sebagai akibat perubahan pemanfaatan lahan.[14]

Dalam hal ini, penyebab terjadinya defortasi hutan sebagaimana yang disebut diatas, merupakan satu argumentasi yang perlu dikaji kembali, jika ingin mengetahui terkait problem deforstasi hutan. Oleh karena itu, kita perlu melihat relasi Manusia dengan Alam. Yaitu, dengan menganalisis bangunan sosial yang membentuk akses dan kontrol terhadap SDA. Jadi jika dikatakan deforestasi hutan terjadi karena aktivitas masyrakat lokal yang memanfaatkan hutan sebagai sumber bahan pangan, bahan bakar, dan lahan pertanian merupakan satu argumentasi yang terburu-buru. Karena saat ini, sebagaimana pendekatan DEEP Ekologi, kita dapat mengetahui bahwa pengetahuan lokal (lokal wisdom) meruapak pengetahuan yang dapat dipakai dalam mengelaolah SDA, karena pengetahuan tersebut telah terbukti merupakan pengetahuan yang menghargai akan eksistensi dari alam. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan masyrakat adat dalam buku “apa itu REDD?” yakni sebagai berikut;

selama ribuan tahun, kita masyarakat adat telah hidup dalam hubungan yang erat dengan tanah kita dan dengan alam. Tanaman dan hewan di wilayah adat kita adalah sumber makanan, obat-obatan dan sumber penghidupan kita. Sumber air dan tanah adat kita tidak hanya bermanfaat bagi kita, kita juga menganggapnya sakral. Banyak dari kita masih menjalankan kehidupan di mana kita menghasilkan dan memanen apa yang kita butuhkan, namun juga menjamin bahwa sumber daya alam kita masih tetap ada bagi anak cucu kita. Yang kita lakukan adalah yang sekarang disebut pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.[15]

Selain itu, jika deforstasi hutan disebabkan karena kemiskinan dan tekanan penduduk. Hal ini pun, perlu dikaji lagi dengan seksama. Dalam hal ini, kita perlu menelisik akar-akar kemiskinan itu sendiri atau sebab terjadinya kemisikinan. Selain itu kita juga perlu melihat korelasi kepadatan penduduk yang berakibat pada pembukaan lahan baru, atau alih fungsi hutan oleh masyrakat dengan permasalahan deforestasi hutan. Karena terjadinya kepadatan penduduk, bukan semata-mata karena meningkatnya populasi, namun juga dikarena terjadi konsentrasi tanah pada segelintir orang dan aktivitas pembangunan oleh negara dan korporasi.

Dalam hal, siapa yang bertanggung jawab atas deforstasi hutan, meningkatnya Gas Rumah Kaca yang berujung pada pemanasan global. Apakah kita akan menyalahkan masyrakat, pemerintah, atau korporasi. Yang pasti ini adalah tanggung jawab bersama, untuk melakukan berbagai upaya untuk menjaga alam. Oleh karena itu, mekanisme yang ditawarkan oleh REDD dan REDD+ yang dimana prinsip dasarnya adalah menetapkan “nilai jual” bagi karbon yang mampu ditampung oleh hutan agar tidak terlepas ke atmosfer.[16] Dengan suatu sistem pembayaran berbasis hasil, yang akan sepenuhnya diukur, dilaporkan dan diverifikasi, sebagaimana hasil kesepakatan di COP 16 pada tahun 2010.[17] Sebagaimana yang disampaikan Kordinator Walhi Jawa Timur, bahwa; sejatinya merupakan satu pelimpahan ke salah satu pihak untuk menjaga lingkungan. Jika berkomitmen untuk menjaga lingkungan maka kita semua harus menjaganya secara bersama-sama.[18]

Jadi, sebagaimana yang di sampaikan oleh Thorburn, bahwa kita perlu bertanya terkait pembayaran uang untuk pelayanan jasa lingkungan atau menggunakan mekanisme pasar untuk mengatasi penebangan hutan. Dalam hal ini, Thorburn, mengatakan bahwa; siapa yang akan di untungkan dari gemuruh REDD+ di Indonesia? Kini, setidaknya dua puluh proyek percobaan REDD+ sedang berada dalam ragam tahap persiapan. Lembaga dana, perusahan kapitalis, dan badan negara di berbagai tingkat sedang bersaing untuk memperebutkan dana REDD+ yang akan masuk ke indonesia. Lalu, ada apa di balik penyambutan dana hangat REDD+ di indonesia?.[19] Dalam hal ini, dikarenakan lingkungan adalah keseluruhan alam semesta dan merupakan seluruh interaksi yang saling pengaruh, yang terjalin di dalamnya. Antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan dengan keseluruhan ekosistem atau habitat. Singkatnya lingkungan merupakan milik bersama, yang dimana baik dan buruknya lingkungan akan dirasakan oleh semua orang maka sudah menjadi tanggung jawab setiap orang untuk berupaya menjaga lingkungan tersebut.

Karena, salah satu problem lingkungan hidup yang masih hangat untuk di bahas adalah terkait dengan integrasi antara pemanfaatan SDA dengan perlindungan atas SDA itu sendiri. Sehingga, selain kita dapat mendapatkan manfaat atas nilai instrumetal yang ada pada SDA (alam). Kita juga patut menghargai eksistensi alam itu sendiri, yakni nilai instrinsik yang ada pada dirinnya. Dalam hal ini, negara berkembang, konteks indonesia. Ditengah kondisi alamnya yang kaya, secara ekonomi, di negara ini juga masih banyak terdapat kemiskinan. Oleh karena itu, menempatkan negara Indonesia menjadi negara yang bertugas untuk menjaga lingkungan saja, tanpa memanfaatkan atau mengelolahnya atau amanat amanat yang terdapat di dalam REDD dan REDD+. Dan pada posisi yang lain Negara Maju, korporasi skala internasional, tetap menjalankan aktivitasnya dalam mengelolah atau menfaatkan lingkungan hidup. Maka pernyataan, lingkungan hidup yang baik dan sehat. Menemukan ambivalensinya, karena masih terdapat pelimpahan kewajiban kepada salah satu pihak. Walaupun, dalam pelaksanaan REDD dan REDD+ negara Indonesia mendapatkan komisi, atau imbalan atas perbuatan tersebut. Tapi, perlu kita pertanyakan kembali, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Thorbun diatas.



[1] Sonny Keraf dan Flitjof Capra, filsafat lingkungan hidup, (penerbit pt kanisius; yogyakarta, 2014).
[3] Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, Dan Hukum Pidana Menurut Uu No 32 Tahun 2009, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012)
[4] Eleonor Baldo-Soriano, Raymond de Chavez, Christian Erni, Helen Tugendhat, diterjemahkan oleh Aditya Warman, Apa Itu REDD?, sebuah panduan untuk masyrakat adat, (Asia Indigenous Peoples’ Pact (AIPP), Forest Peoples Programme (FPP), International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA), Tebtebba; 2010), h, 8-9.
[5] Wacana, jurnal transformasi sosial 29/XV/2013, h, 21.
[6] Wacana, jurnal transformasi sosial 29/XV/2013, h, 21.
[7] Wacana, jurnal transformasi sosial 29/XV/2013, h, 28.
[8] Denier L. Korwin, S. Leggett, M. MacFarquhar C, Buku Kecil Kerangka Hukum REDD+, bagaimana kebijakan dan undang-undang dapat menciptakan lingkungan yang memungkikan unntuk REDD+, (Global Canopy Programme; oxford 2014), h, 24.
[9] Wacana, jurnal transformasi sosial 29/XV/2013, h, 30-31.
[10] Charlie Parker, Andrew Mitchell, Mandar Trivedi dan Niki Mardas, Buku REDD+ Mini, sebuah panduan proposal pemerintah dan lembaga non pemerintah untuk mengurangi emisi dari deforstasi dan degradasi hutan, (Global Canopy Programme: oxford, 2008), h, 14.
[11] Wacana, jurnal transformasi sosial 29/XV/2013, h, 31.
[12] Denier L. Korwin, S. Leggett, M. MacFarquhar C, Buku Kecil Kerangka Hukum REDD+, bagaimana kebijakan dan undang-undang dapat menciptakan lingkungan yang memungkikan unntuk REDD+, (Global Canopy Programme; oxford 2014), h, 24.
[13] Charlie Parker, Andrew Mitchell, Mandar Trivedi dan Niki Mardas, Buku REDD+ Mini, sebuah panduan proposal pemerintah dan lembaga non pemerintah untuk mengurangi emisi dari deforstasi dan degradasi hutan, (Global Canopy Programme: oxford, 2008), h, 12.
[14] Charlie Parker, Andrew Mitchell, Mandar Trivedi dan Niki Mardas, Buku REDD+ Mini, sebuah panduan proposal pemerintah dan lembaga non pemerintah untuk mengurangi emisi dari deforstasi dan degradasi hutan, (Global Canopy Programme: oxford, 2008), h, 13.
[15] Eleonor Baldo-Soriano, Raymond de Chavez, Christian Erni, Helen Tugendhat, diterjemahkan oleh Aditya Warman, Apa Itu REDD?, sebuah panduan untuk masyrakat adat, (Asia Indigenous Peoples’ Pact (AIPP), Forest Peoples Programme (FPP), International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA), Tebtebba; 2010), h, 10.
[16] Wacana, jurnal transformasi sosial 29/XV/2013, h, 30-31.
[17] Denier L. Korwin, S. Leggett, M. MacFarquhar C, Buku Kecil Kerangka Hukum REDD+, bagaimana kebijakan dan undang-undang dapat menciptakan lingkungan yang memungkikan unntuk REDD+, (Global Canopy Programme; oxford 2014), h, 24.
[18] Disampaikan saat penulis mengikuti sekolah ekologi II di kota Batu, Provinsi Jawa Timur yang dilaksanakan oleh walhi jatim.
[19] Wacana, jurnal transformasi sosial 29/XV/2013, h, 32.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Urgensi Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup Prespektif Ekopopulisme.

Mahasiswa Dan Politik Mahasiswa

CERITA hingga SENJA