IBU DAN LINGKUNGAN HIDUP; Mari Berubah Sebelum Menjadi Malin Kundang.
“Selamat hari, untuk para kaum
ibu di seluruh dunia. Salam kemanusiaan salam kedamaian serta keadilan”.
Pada momentum hari ibu ini,
banyak hal turut menyertainya. Ucapan selamat dan doa kepada ibu dari setiap
anak, serta berbagai pesan pesan. Semisal vidio yang di buat oleh Gubernur
Jakarta Bpk. Anies Baswedan. Dalam
vidionya, Ia mengajak para ibu untuk memberi pesan pada anak anaknya untuk tidak
melakukan korupsi. Karena, rahim ibu, bukan tempat para calon koruptor.
Dalam hal ini, saya ingin
melakukan hal yang sama, namun dalam prespektif, cara dan kepentingan yang
berbeda. Yankni, menggunakan pandangan yang melihat relasi ibu dengan
lingkungan hidup. Pastinya, kepentingannya untuk mengajak semua orang untuk
bersama-sama menjaga lingkungan hidup. Dari pada bernasip sama seperti Maling Kundang,
medingan sesegara mungkin melakukan perubahan. Hal yang fundamen, sebagaimana
yang di ungkapkan oleh Soni Keraff adalah merubah cara berfikir kita dalam
melihat relasi alam dengan manusia.
Secara kasuistik persoalan
perempuan dan lingkungan hidup, dapatlah kita lihat dari apa yang terjadi pada
perempuan perempuan berikut, yang juga merupakan ibu-ibu, yakni; Nissa
Wargadipura, Pendiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut, Jawa Barat; Rusmedia
Lumban Gaol atau Opung Putera, perempuan adat dari Desa Sipituhuta, Humbang
Hasundutan; Aleta Baun, pejuang lingkungan dari Molo, Kabupaten Timur Tengah
Selatan, NTT. Lalu, Gunarti dari Sedulur Sikep, pejuang perempuan yang gigih
menolak pabrik semen di Jawa, salah satu di Rembang serta Eva Bande, pejuang
perempuan yang memimpin Front Rakyat Advokasi Sawit Sulteng (mongobay.com:
24/06/15)
Apa yang terjadi pada ibu-ibu
tersebut, semisal, apa yang terjadi pada Mama Aleta Baund, seroang perempuan
asal NTT, yang melakukan advokasi terhadap pertambangan marmer di daerahnya,
alasan penolakannya sederhana, yakni keruskan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas
Pertambangan Marmer akan memberikan dampak buruk pada masyrakat sekitar,
terkhusus kaum perempuan. Untuk memahami masalah yang sederhana tersebut (kerusakan
lingkungan) sebagaimana yang dilakukan oleh Mama Aleta Baund dan para
ibu-ibu di daerah lainnya serta ibu-ibu di India yang terlibat dalam gerakan
Chipko, membutuhkan akal sehat dan jiwa kepedulian yang tinggi. Dalam hal ini,
yang memiliki sanse tersebut adalah kaum perempuan, lebih lebih ada pada
seorang ibu.
Sebagaiaman yang disampaikan oleh
Renal Rinoza bahwa, Keterikatan perempuan dengan alam (sebagai contoh), terdapat
padangan tentang ibu dan bumi (Terra Mater). Pandangan ini, manganggap
bahwa, bumi adalah perwujudan ibu pertiwi, bumi ditempatkan pada posisi
kerahiman yang penuh dengan kasih. Ia menjadi pelindung pada berbagai hal yanga
ada di dalamnya termasuk umat manusia. Sebagaimana
dijelaskan oleh Vandana Shiva (1988; 1998) sebagaimana yang dikutip oleh Renal
Rinoza bahwa didalam filsafat India hubungan tersebut ialah
antara Prakriti (alam) dan Purusha (manusia). Hubungan
antara Prakriti dan Purusha saling memelihara dan bukannya terpisah. Sedangkan
dalam padangan masyrakat yunani di sebut dewi Gaia, dan dalam pandangan Hindu
di sebut Dewi Bhumi (mongobay.com; 23/04/16).
Dapatlah kita ketahui betap erat
kaitannya antara perempuan dan alam. Efek domino dari kehancuran alam salah
satunya adalah hancurnya kehidupan seorang perempuan. Termasuk ibu, yang dimana
dalam aktifitasnya sangat berkaitan dengan alam.
Dalam hal ini, Siti Maimunah,
salah seorang peneliti dari sayogyo indtitute, sebagaimana yang dikutip oleh
Abby Gina, mengemukakan bahwa betapa pentingnya menjadikan pengalaman menjadi
pengetahuan, menyampaikan pengalaman dan pengetahuan untuk mencapai perubahan
dan perbaikan alam. Menurutnya, pengalaman menjadi poin penting dari feminisme.
Pengalaman adalah sumber pengetahuan perempuan. Penting untuk mengangkat
pengalaman konkrit ketubuhan perempuan dalam menghadapi kerusakan alam,
membincang bagaimana akses dan hak perempuan atas alam yang optimal
(jurnalperempuan;06/08/17).
Oleh karenanya menurut Maimunah,
kesadara bagi seorang perempuan sangatlah penting, tanpa adanya kesadaran kaum
perempuan akan teralienasi oleh apa yang dia konsumsi setiap hari. Yakni, akan
lupa dari mana datangnya produk produk, semisal minyak goreng dan emas.
Seberapa banyak alam yang dirusak dan kaum perempuan yang terampas hak asasinya
(jurnalperempuan;06/08/17).
Jika mengikuti pendapat Siti
Maimunah, maka pengalaman, pengetahuan dan kesadaran. Menjadi elemen penting
dalam hal perjuangan linngkungan hidup. Namun yang menjadi pertanyaannya
adalah, pengalaman dan pengetahuan seperti apa, serta jenis kesadaran yang
bagaimana.
pengetahuan diproduksi dari hasil
tangkap indra atas fenomena yang ada. Dari pengalaman membentuk pengetahuan.
Artinya, pengalaman pengalaman rieal yang ada pada perempuan atau yang dialami
oleh perempuan lah yang menjadi basis dari pengetahuannya.
Dalam hal ini, untuk menilai
pengetahuan tersebut, maka kaum perempuan haruslah memiliki kesadaran, yakni
kesadaran akan suatu perubahan. Paul friera, menyebutnya sebagai kesadaran
kritis atau transformatif. Ketertindasan, domestifikasi perempuan harus
dipandang sebagai konstruk sosial. Bukanlah sebuah takdir. dan haruslah
berupaya untuk merubahnya.
*Menjaga Lingkungan Atau
Menjadi Malin Kundang.
Dalam kondisi kerusakan
lingkungan ini, pada momentum peringatan hari ibu cara berbakti kepada ibu
bukan hanya dengan memberikan selamat berbentuk kado atau apapun itu, tetapi juga
dengan menjaga lingkungan kita telah menjaga dan melindungi ibu kita bahkan
para kaum ibu di seluruh dunia. Karena mungkin saja saat ini, ibu kita tidak
menjadi korban atas ganasnya pembangunan. Akan tetapi, kedepannya kita tidak
tau.
Karena sebab dari penindasan
tersebut bukanlah disebabkan oleh perbuatan individu/personal. Akan tetapi
disebabkan oleh kerja kerja sitem yang akumulatif dan kompetitif yakni
kapitalisme. Maka mari bersama sama bersolidaritas untuk menjaga lingkungan dan
melawan segala bentuk perusakan dan pencemaran lingkungan.
Pada momentum hari ibu ini, kita
perlu melihat kembali, kondisi ibu-ibu dan alam disekeliling kita, apakah dalam
keadaan baik-baik saja atau tidak. Perlu diketahui bahwa, di Jogja tepatnya di
Kulonprogo terdapat kaum perempuan yang terampas ruang hidupnya karena
pembangunan Bandara. Masih di jogja juga, tepatnya di Kendeng, terdapat Ibu-Ibu
yang sedang memperjuangkan ruang hidupnya juga, dan masih hangat di dalam
ingatan kita tentang wajah sosok ibu Patmi, yang kini telah bertemu dengan sang
pemilik keadilan. Karena di dunia ini, khususnya di Indonesia begitu sulit
mencari keadilan. Pada kasus yang lain, terdapat juga para kaum ibu dan
masyrakat sekitar yang melakukan protes untuk melakukan penutupan terhadap PT.
RUM di Sukohardjo. Dan, di Banyuwangi, yakni pada kasus penolakan warga
terhadap tambang di Tumpang Pitu. terdapat Ibu yang suaminya ditangkap karena
memperjuangakan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Malin kundang, menerima hukuman
dari sang Ibu lantaran perlakuannya yang buruk kepada Ibunya sendiri. Alhasil
dia akhir hidupnya di akhiri dengan menjadi batu. Dalam konteks krisis ekologi,
menjadi Malin Kundang adalah menerima dampak dari rusaknya alam, akibat ketidak
patuhan kita dalam hal menjaga alam. Memandang alam sebagai sesuatu yang tak
memiki nilai kecuali nilai ekonomi. Sehingga mengeksploitasi alam tanpa melihat
dampak sosial-budaya dan lingkungan. Alhasil alam menjadi rusak dan berbagai
murkanya pun muncul. Ditandai dengan bencana dimana mana serta berbagai
penyakit yang diterima manusia.
Tidaklah perlu menunggu menjadi
batu sebagaimana yang dialami oleh Malin Kundang atau “dalam konteks krisis
ekologi” sampai kita menjadi korban akibat dampak buruk dari kerusakan
lingkungan, baru kita sadar. sebelum
terlambat, mari melakukan perubahan dari hal hal yang terdapat disekitar kita. karena sadar atau tidak kerusakan lingkungan
telah terjadi.
Komentar
Posting Komentar