PETAKA TAMBANG EMAS KABUPATEN BURU



Pada tanggal 28 oktober 2018, masyrakat Maluku dikejutkan dengan satu informasi yang mengerikan. Dikatakan mengerikan lantaran, ikan yang menjadi salah satu makanan andalan orang maluku, kini menjadi salah satu ancaman jika di konsumsi. Lantaran, telah terkontaminasi zat-zat kimia (merkuri dan sianida), akibat aktifitas pertambangan di daerah tersebut (luiputan6.com; 28/10/2018).

Sebagaimana yang sampaikan oleh, Pakar kimia dan lingkungan Universitas Pattimura Elahnpatti Ambon, Dr Justinus Male. Bahwa, masyarakat Maluku, khususnya di Pulau Buru dan Pulau Ambonagar, jangan mengonsumsi kepala maupun tulang ikan karena sudah mengandung bahan beracun mercuri dan sianida. Menurutnya, "Bahan beracun seperti mercuri dan sianida itu biasanya mengendap di dalam sumsum tulang dan kepala ikan, sehingga kebiasaan mengonsumsi bagian ikan ini akan berbahaya untuk jangka panjang," (28/10/2018).

Pencemaran tersebut, dikarekan tidak begitu terkontrolnya aktivitas pertambangan yang terdapat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku, yakni di tamabng Gunung Botak dan Tamabang di Gugurea. Padahal, aktivitas pertambangan jika tidak dikelolah dengan benar dan baik akan memberikan dampak yang mengerikan bagi amsyrakat sekitar. Namun dalam hal ini, pemerintah seolah olah abai akan hal itu. Alhasil, bukan hanya terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup namun juga terjadi pertikaian antara warga setempat dan anatar warga setempat dengan penambang serta antara penambang dengan penambang. Yang dimana memakan korban yang begitu banyak. Selain itu, juga terdapat penularan penyakit sexualitas, dan juga rusaknya nilai nilai budaya masyrakat setempat.

Sungguh begitu disayangkan, karena di lokasi pertambangan, sebelum lingkungannya mengalami  kerusakan. Di tempat tersebut, terdapat pepohonan yang menjulang tinggi dan memiliki ukuran yang besar. Selain itu juga, terdapat aliran sungai yang begitu jernih, yang sering dipakai oleh masyrakat setempat baik untuk dikonsumsi maupun dipakai untuk mengelolah minyak kayu putih. Namun kini, jangankan untuk diminum, dipakai untuk mandi saja sudah tidak layak lantaran, telah terkontaminasi dengan berbagai zat kimia.
Dalam hal ini, muncul sebuah Pertanyaan besar. Apa yang terjadi pada aktivitas pertambangan di Kabupaten Buru, sehingga memberikan dampak yang begitu mengerikan. Apakah dikarenakan para penambang tidak menggunakan peralatan yang canggih ataukah persoalan apa. Kemudian upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut.

Sebab Krisis Lingkungan Hidup

Dalam melihat sebab dari persoalan tersebut. Terdapat sebuah uangkapan menarik dari George Soros. Yakni, kutukan sumber daya alam. Yakni, sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kegagalan negara-negara kaya sumber alam untuk mengambil manfaat dari berkah kekayaan yang mereka miliki. Seperti, Afrika, Angolo, Kongo dan Sudan. Sementara itu, negara-negara yang minim sumber daya alam dan sama melaratnya seperti Burkina Faso dan Ghana justru bisa hidup damai (escaping the resource curse 2007; prolog).

Menurut Soros, kutukan sumber daya alam terjadi dikarnakan, ketidak loyalan dalam melayani kepentingan prinsipal atau aktor utamanya (masyrakat) yang disebut dengan asimetris agen. Dikatakan asimetris karena, kutukan itu hanya menimpa prinsipal di satu pihak, alias rakyat di negara bersangkutan, dan bukannya menimpa pihak lain, yakni para korporasi. Selain itu juga, para korporasi sepanjang sejarah selalu mendapatkan mendapatkan keuntungan dari informasi asimetris dan kekuatan tawar yang juga asimetris. Hal inilah yang menyebabkan para korporasi dapat mencengkram kekayaan alam di negara-negara miskin (escaping the resource curse 2007; prolog).

Selain Soros, terdapat ahli lainnya juga yang mengulas terkait dengan akibat buruk dari pengelolaan sumber daya alam. Salah satunya, yakni Fitjof Chapra. Dalam hal ini jika Soros melihat dalam prespektif Ekonomi Politik. Fitjof Chapra, melihat persoalan krisis lingkungan hidup dalam prespektif filsafat. Yakni terkait dengan cara pandang manusia tentang realitas disekitarnya yakni tentang hakikat alam semesta (word vieu). Dalam hal ini menurutnya, pandangan manusia yang menganggap alam hanya memiliki nilai instrumental dan menafikan nilai intrinsik yang ada padanya adalah sumber permasalahnya (filsafat lingkungan hiidup; prolog)

Pada dasarnya, ungkapan dari Soros dan Chapra, adalah sama, yakni persoalanya adalah anggapan bahwa alam adalah objek semata dan tidak memiliki hak sama sekali. Dalam padangan seperti ini, kepentingan manusialah yang di nomor satukan (antroposentrisme).Hal ini kemudian, diperparah dengan diberlakukannya sistem kapitalisme, yang dimana syahwat akan akumulasi kapitalnya begitu besar sehingga ia akan melakukan berbagai cara untuk medapatkan keuntungan yang sebesar besarnya.

Dalam hal ini terkait dengan permasalah yang ada di Kabupaten Buru, dari berbagai fenomena yang terjadi. Dapat kita ketahui bahwa, adanya cara berfikir dari masyrakat setempat dan pemerintah (Pemprov dan Pemda), yang menganggap alam sebagai objek sematalah yang merupakan sebab dari kerusakan lingkungan. Dikatakan demikian, karena, tindakan manusia dipengaruhi oleh paradigma yang dimiliki. Artinya jika terdapat kesesatan dalam berfikir maka akan terjadi kesesatan dalam tindakan.

Hal ini, dapat dilihat dari bagaimana antusiasme masyrakat (masyrakat sekitar maupun dari luar daerah), dalam hal melakukan aktivitas pertambangan yang terdapat di Gunung Botak dan Gugurea Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Padahal, dampak dari aktivitas pertambangan tersebut begitu merugikan. Namun dikarenakan keuntungan ekonomi yang begitu besar, mereka manyampingkan aspek sosial dan ekologis. Selain itu, juga terdapat, kelemahan dalam penegakan hukum dan lambatnya pemerintah setempat dalam mengambil sikap terkait dengan aktivitas penambangan ilegal tersebut. Menurut penulis, upaya yang dilakukan pemerintah ini, bagaikan aksi pahlawan kesiangan, dikarenakan aktivitas pertambangan telah memberikan dampak yang luar biasa buruk baru pemerintah bangun dari tidurnya yang lelap.

Sejatinya, sebagaimana yang terdapat didalam pasal 4, UU-PPLH No 32 tahun 2009, menyatakan bahwa ruang lingkup dari perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup mencakup aktivitas: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Yang dilaksanakan secara sistematis dan terpadu (Raynaldo Sembiring dkk; 2014, 81). Namun, upaya yang dilakukan oleh pemerintah hanya pada penanganan, pasca terjadi sebuah permasalahan. Semisal, dengan mengirimkan TNI untuk menjaga kawasan tambang setelah terjadinya konflik, kemudian menutup aktivitas penambangan setelah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

Dalam hal ini, jika sikap dan respon pemerintah masih saja seperti ini, sekaya apapun negeri bupolo (Pulau Buru), hal itu tidak akan memberikan kesejtraan kepada masyrakat sekitar. Bahkan masyrakat akan semakin mengalami keterpurukan. Yakni, semakin meningkatnya kemiskinan, konflik, kesehatan masyrakat akan menurun, dan generasi yang akan datang akan mengalami suatu kondisi dimana tidak akan merasakan lagi hijaunya negeri kayu putih dan kayanya sumber daya ikan akan tetapi mereka hanya mendapatkan cerita-cerita terkait negeri bupolo dan kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya “pada masa lalu”.

Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup

Hal penting terkait upaya penyelamatan lingkungan hidup. Menurut penulis, adalah bagaimana kemudian, perlindungan terhadap alam tetap dilakukan. Namun, tanpa menyingkirkan atau membuat akses masyrakat terhadap SDA tidak terhalang. Khususnya masyarakat adat jika wilayah pertambangan atau pengelolahan SDA berada di tanah ulayatnya. Hal ini dikarenakan jika penyelamatan lingkungan hidup tersebut dilakukan dengan disingkirkannya masyarakat setempat (eko-fasis) (Ton Diez; 2005). Maka, bukannya menyelesaikannya suatu maslah, malah yang terjadi adalah menciptakan maslah baru. Yakni, terampasnya hak asasi masyrakat. Yang sejatinya harus dipenuhi (to fulfill), di hargai (to respect) dan di lindugi (to protect).

Dalam hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ton Dietz bahwa; dalam perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup. Sejatinya harus mempertimbangkan pengetahuan lokal masyrakat setemat (lokal wisdom). Hal ini dikarenakan pada pengetahuan lokallah perlindungan dan pengelolaha lingkungan hidup dapat dilakuka. Pendekatan ini menurut Ton Dietz dikatan sebagai pendekatan Eko-Populisme. Namun dikarnakan dalam pendekatan eko-popilisme terdapat dua farian yakni eko-populisme garis lunak dan eko-populisme garis keras. Penulis, lebih sependapat dengan eko-populisme garis lunak. Yakni, adanya integrasi antara perkembangan teknologi dengan pengetahuan lokal dari masyrakat setempat.

Hal ini dikarenakan perkembangan sains dan teknologi, merupakan satu  keniscayaan. Artinya tak dapat dihindari. Namun, pada teknologi itu juga terdapat dampak negativ jika tidak dilandasi dengan pola pikir yang baik. Oleh karena itu, menurut penulis pendekatan eko-populisme dapat dijadikan sebagai pedoman dalam perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup. Sehingga, kemunculan tambang emas bukanlah menjadi satu duka atau petaka bagi masyrakat Pulau Buru akan tetapi dapat menjadi berkah dari sang pencipta kepada masyrakat Pulau Buru.

SUMBER BACAAN:

Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup (sinar grafika;jakarta, 2013).
Macartan Humphreys, Jeffrey D. Sachs & Joseph E. Stiglitz, ESCAPING THE RESOURCE CURSE “Berkelit dari Kutukan Sumberdaya Alam”, (Columbia University Press; Penerjemah: Surya Kusuma, B. Gunawan)
Raynaldo Sembiring, Yustisia Rahman, Elizabeth Napitupulu, Margaretha Quina, dan Rika Fajrini, Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Indonesian Center for Environmental Law (ICEL); Edisi Pertama).
Sony Keraf dan Fitjof Chapra, filasafat lingkungan hidup, alam sebagai sebuah sistem kehidupan, (PT Kansius; 2014).
Ton Diez, Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam, kontur geografi lingkungan politik, (insist press)
UU-PPLH No 32 Tahun 2009.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Urgensi Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup Prespektif Ekopopulisme.

Mahasiswa Dan Politik Mahasiswa

CERITA hingga SENJA