Ironi Hukum dan Masyrakat Miskin
Hukum Adalah Hukum Selama Dia
Mmenguntungkan Kepentingan Mereka Apabila Tidak Bukanlah Sebuah Hokum Atau Aturan Yang Harus Di Patuhi. inilah yang tergambarkan di negri ini. iya, negri ini yakni Indonesia.
(Alwi Alu)
Dalam beberapa hari akhir-akhir ini di rezim
jokowi-jk, berbagai persoalan di bidang hukum seringkali muncul, dan kadang
kadang pula menjadi topic-topic pebicaraan yang hangat. namun yang
memprihatinkan adalah kemunculannya bukan kemudian menggambarkan sebuah
informasi bahwa telah berkembangnya kesadaran dan kepatuhan hukum atau telah
membaiknya aparatus penegak hukum dalam menegakkan keadilan atau menjaga
ketertiban ataupun telah terbentuknya aturan aturan hukum yang mencerminkan
jiwa bangsa negri ini sebagaimana yang di ungkapkan Von Savigny.
Namun yang terjadi malah sebaliknya, banyak peraturan
peraturan yang kemudian di gunakan untuk mengkriminalisasi rakyatnya sendiri,
juga banyak kemudia kasus kasus yang di mana dalam putusan pengadilan yang di rugikan ialah rakyat miskin, juga putusan
putusan yang pro terhadap rakyat miskin malah tidak di patuhi atau sengaja
tidak di patuhi oleh pihak pihak yang berkepentingan, hal ini kemudia berdampak
pada prespektif masyrakat terhadap lembaga-lembaga yudiasial.
Semisal beberapa kasus yang terjadi pada rezim
jokow-jk salah satunya kasusnya pak sukirman, sukirji, sujarno dan hasanudin
yang di tuduh telah melakukan provokasi saat konflik anatar warga STKGB dengan
pamswakarsa pada buan oktober 2016. Konflik yang
terjadi antara warga dengan Pamswakarsa ini terjadi setelah pihak Pamswakarsa
melakukan provokasi terhadap warga yang telah menduduki lahan yang diklaim oleh
PT BNIL selama 24 hari. Dalam lanjutan persidangan yang dilaksanakan di
Pengadilan Negeri Menggala, Tulang Bawang, Lampung tadi siang, Selasa (21/2),
masing-masing terdakwa di tuntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan 3 tahun
penjara. Mereka berlima dituntut dengan tuduhan sebagai provokator saat terjadi
konflik antara warga STKGB dengan Pamswakarsa bulan Oktober 2016 lalu.
Dalam kasusu
tersebut yang telah menyeret beberapa warga yang sedang melakukan perlawanan
terhadap pihak pihak yang dalam prespektif mereka telah mengambil hak hak
mereka. Namun perbuatan tersebut di gambarkan sebagai perbuatan pidana, yang
harus di berikan sangsi. Di sini terdapat pertentangan, yakni di satu sisi ada
hak-hak masyarakat miskin dan sisi lain ada kepentingan pihak-pihak lain yakni
pemodal/korporasi yang memiliki lagalitas yang sama.
Dalam hal ini
apabila seorang hakim maupun praktisi hhukum yang lain (advokad dll) dan para
akademisi mengatasinya dengan logika positifistik dan cenderung legisme maka
tak heran apabila rakyat miskinlah yang di rugikan. Hal inipun bertolak
belakang dengan konstitusi negri ini. Yang di mana ingin mencapai sebuah
kesejatraan social bagi seluruh rakyat Indonesia, dan perlindungan hak hak
rakyat miskin. Apalagi negri ini yang dalam pasal 1 (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa indonesia adlah “Negara hukum” yang pada hakikatnya Negara
hokum adalah konsep Negara yang menempatkan hukum sebagai panglima dan bertujuan
untuk kesejatraan rakyat. Maka hal pertama yang menjadi pertimbangan bukanlah
kepastian namun kemanfaatan dan keadilan barulah sebuah kepastian hukum.
Pada kasus yang
berbeda yaitu kasus antara masyrakat adat rembang yang berhadapan dengan pihak PT
semen, dalam kasus ini telah melewati beberapa proses persidangan di lembaga
lembaga peradilan terkait. Yakni sengketa pertama di lembaga peradilan tata
usaha Negara semarang, yang di mana di karnkan putusan hakim yang membuat pihak
rakyat tidak mendapatkan sebuah rasa keadilan, pihak rakyat yang di temani
kuasa hukumnya melakukan upaya hukum kasasi di peradilan TUN di Surabaya namun
hal yang samapu terjadi hakim di
peradila TUN Surabaya memutuskan bahwa keputusan hakim peradilan TUN semarang
adalah sah menurut hukum. Hal inipun tidak membuat masyrakat rembang berkecil
hati atau bahkan sampai tidak mempercayaai lagi lembaga yudisial di Indonesia.
Hal ini di buktikan dengan masih di lakukannya upaya hokum banding di MA dalam
upaya hokum ini Alhamdulillah atas kuasa allah swt hakim MA memutuskan bahwa
putusan putusan peradilan TUN semarang dan Surabaya adlah batal demi hukum dan
memenangkan pihak warga rembang.
Namun ternyata
yang di hadapi warga bukanlah sosok pemerintah yang tidur, yang di mana apabila
telah di bangunkan akan sadar. Namun yang di hadapi warga rembang ialah seekor
predator peliharaan pemodal, yang siap memangsa kapan saja tanpa memperdulikan
apapun itu. Ini terbukti dengan tidak di gubrisnya putusan MA tersebut. Seolah
olah menggambarkan bahwa definisi hokum antara pemerintah dengan rakyatnya
berbeda, yakni apabila definisi hokum yang di gunakan rakyat pada umumnya tidak
terlepas dari Kepastian, Kemanfaatan Dan Keadilan. Berbeda dengan definisi
hukumnya penerintah. Yakni hukum adalah hukum selama dia mmenguntungkan kepentingan mereka apabila tidak
bukanlah sebuah hokum atau aturan yang
harus di patuhi.
Sebagaimana
yang di unngkapkan oleh Jeremy bethem salah seorang ahli hukum inggris yakni
bapak hukum internasional, ia mengkonsepsikan tujuan hokum ialah keadilan, dan
keadialan yang di maksud ialah keadilan orang banayak (rakyat) sebagaimana
ungkapannya hukum itu bertujuan untuk kebahagian dan kebahagian adalah
mengutamakan kebahagiaan orang banyak. Begitupun apa yang di ungkapkan oleh
jhon rowls mengenai konsep keadilan.
Dalam konsepsinya keadilan itu sejatinya harus ada keberpihakan, yakni
keberpihakan kepada kaum atau orang orang yang tidak mampu. Bila dalam kasus yang telah saya sebutkan diatas maka sejatinya
seorang hakim sebagi orang yang di percayaai dapat memberikan keadilan,
haruslah kemudian mengutamakan kepentingan orang banyak (yakni rakyat) dalam
pertimbnagan hukumnya apabila menghadapi public clas, dan kasus kasus lain yang
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi tempat
dimana keadilan di tegakkan, malah menjadi tempat penghukuman. Hakim bukan lagi
menjadi perwakilan tuhan yang menegakkan sebuah keadilan malah menjadi seorang
algojo yang siap sedia menghukum siapa saja. hal hal tersebut telah memberi
prseden buruk bagi Negara ini dan khususnya lembaga yudisial, Negara yang di
dalam konstitusi di teteapkan sebagai Negara hukum, telah menjadi Negara yang
suka menghukum. Begitulah sedikit kegelisahan saya terhadap ironi hukum di negeri ini.
Komentar
Posting Komentar