Rekonstruksi Aktivisme HMI, Sebuah Otokritik



Sebagaimana yang terdapat pada muqadima konstitusi HMI paragraf pertama bahwa; “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata‘ala telah mewahyukan Islam sebagai ajaran yang haq lagi sempurna untuk mengatur umat manusia berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-Nya.”[1] Dan paragraf kedua; “Menurut iradat Allah Subhanahu wata‘ala kehidupan yang sesuai dengan fitrah-Nya adalah panduan utuh antara aspek duniawi dan ukhrawi, individu dan sosial serta iman, ilmu, dan amal dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”[2] Pada muqadimah tersebut sebagai suatu gambaran terkait dengan kegunaan menaati[3] konstitusi. Memberikan gambaran bahwasanya pada diri kader HMI sejatinya memiliki integrasi akan berbagai aspek tersebut yakni kesalehan individu (ukhrawi), kesalehan sosial serta kesalehan lingkungan yang harus dibentuk dan direalisasikan.

Dalam hal ini, clausa yang terdapat di muqadimah tersebut di jabarkan kembali pada pasal 3 asas yakni HMI berasaskan Islam[4], dan pasal 4 tujuan “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahu wata’ala[5] yang merupakan mission dari HMI. Serta pasal 5 usaha, yakni; (1). Membina pribadi muslim untuk mencapai akhlaqul karimah. (2). Membina pribadi muslim yang mandiri. (3). Mengembangkan potensi kreatif, keilmuan, sosial dan budaya. (4). Mempelopori pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemaslahatan masa depan umat manusia. (5). Memajukan kehidupan umat dalam mengamalkan Dienul Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (6). Memperkuat Ukhuwah Islamiyah sesama umat Islam sedunia. (7). Berperan aktif dalam dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kepemudaan untuk menopang pembangunan nasional. (8). Ikut terlibat aktif dalam penyelesaian persoalan sosial kemasyarakatan dan kebangsaan. (9). Usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan huruf (a) s.d. (e) dan sesuai dengan azas, fungsi, dan peran organisasi serta berguna untuk mencapai tujuan organisasi.[6]

Konstitusi HMI bukan hanya persoalan terkait dengan tata cara menjalankan organisasi (administrtatif) akan tetapi, terdapat pula cita cita luhur yang menjadi tanggung jawab setiap kader HMI untuk merealisasikannya. Yakni mewujudkan Masyrakat adil makmur yang diridohi ALLAH SWT yang merupakan tujuan jangka panjang HMI dalam pandangan Akbar Tanjung dan tak lupa juga tujuan jangka pendeknya yakni terbinanya insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan islam, yang dikemas dalam aktivitas perkaderan baik di tingkat komisariat hingga pengurus besar HMI (PB). Oleh karena itu diperlukan suatu diskursus terkait dengan nilai nilai yang terdapat didalam konstitusi HMI dengan problematika yang ada pada hari ini sehingga nilai nilai yang menjadi basis perjuangan HMI bisa livein tidak lagi melangit ataupun hanya sebatas teks kaku yang akan habis di makan rayap.

Hal ini sebagaimana yang terdapat didalam buku Strategi Kebudayaan karangan Van Pursen, bahwa suatu perubahan merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan sosial oleh karena itu diperluakan suatu perencanaan agar kita dapat bertahan dan tidak tergilas oleh perkembangan zaman. Dalam hal ini Van Pursen mengklasifikasikan tiga tahapan kebudayaan. pertama, mitis yakni kehidupan manusia sangat di tentukan oleh alam. Kedua, ontologis, yakni dominasi manusia terhadap alam, akibbat dari perkembangan ilmu pengetahuan yang di buat oleh manusia. Ketiga, tahap fungsional yakni tahap dimana manusia mulai sadar akan dampak negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan sehingga membuatnya lebih mensinergiskan antara alam dan kebutuhan manusia dan tidak saling mendominasi. Dalam posisi ini, HMI sebagai organisasi mahasiswa pertama di repoblik idonesia, yakni yang didirikan dua tahun pasca proklamasi kemerdekaan. Patut menjadi tauladan bagi omek lainnya dalam hal berkontribusi untuk bangsa.

Van Peursen di bagian awal bukunya, ia menyampaikan bahwa pada awalnya, orang banyak berpendapat tentang konsepsi kebudayaan yang hanya meliputi segala manivestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani saja. Akan tetapi dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi dari seluruh aspek kehidupan setiap orang dan kehidupan setiap kelompok orang. Manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah alam. Oleh karena itu, untuk dapat hidup, manusia harus mengubah segala sesuatu yang telah disediakan oleh alam. Misalnya, beras agar dapat dimakan harus diubah dulu menjadi nasi.[7] Hal inipun berlaku pada HMI sebagai kader Umat dan kader Bangsa, perlu melakukan berbagai modifikasi pada matode perjuangannya begitupun pilihan issu yang akan di tanggapi yakni yang sesuai dan relefan dengan masalah yang benar benar di alami oleh bangsa dan umat, yang bukan merupakan sebuah rekayasa.

HMI, sejak didirikan pada 5 februari tahun 1947, telah eksis hingga usianya yang ke 72 tahun dan telah melewati berbagai dinamika dalam konteks negara dan disetiap rezim yang berbeda serta persoalan yang berbeda juga, yang di gambarkan ke dalam 11 fase perjuangan HMI. Mulai dari fase konsolidasi spiritual (1946-1947), fase pengokohan (5 februari 1947-30 november 1947), fase perjuangan bersenjata (1947-1949), fase pertumbuhan dan perkembangan HMI (1950-1963), fase tantangan (1964-1965), fase kebangkitan HMI sebagai pelopor orde baru (1966-1968), fase pembangunan (1969-1970), fase pergolakan dan pembaharuan pemikiran (1970-1998), fase reformasi (1998-2000), fase tantangan II (2000-2006),  fase kebangkitan kembali (2006-sekarang). Dari berbagai fase tersebut, HMI selalu mengalami dinamika tersendiri, dan berhasil melewatinya. Dinamika itupun muncul karna keterlibatan HMI, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh negri ini, keterlibatan tersebut bukanlah suatu peristiwa yang terjadi pada ruang hampa yakni tidak ada sebab akibatnya, akan tetapi dikarenakan spirit kebangsaan dan keumatan yang dimiliki oleh kader-kader HMI untuk berikhtiar menyelesaikan masalah masalah yang terjadi.

Dalam hal ini, sebagaimana problem bangsa kita hari ini, sangatlah banyak terdapat pada pengelolahan SDA yang amburadur sehinngga menimbulkan konflik dimana mana dan kerusakan lingkungan hidup. Problematika tersebut diakibatkan oleh berbagai hal, tergantung dari prespektif apa kawan kawan menganalisisnya, yakni dikarenakan paradigama yang masih  memandang alam sebagai obyek yang harus di ekspolitasi agar mendapatkan kapital sebanyak banyaknya, dan dapat juga dikatakan bahwa terdapat ketidak patuhan hukum dari pihak pihak terkait, baik investor, pemerintah dan masyrakat. Serta diberlakukannya ekopol liberal-kapitalistik. Namun, apapun kesimpulan dari analisis kawan kawan satu hal yang tak berubah dan tak berbeda adalah bahwa kerusakan lingkungan hidup dan konflik di bidang SDA telah terjadi dan bahkan sampai pada titik yang dapat dikatakan kronis dalam artian sangat parah.

Pada posisi itu bagaimana nilai tawar HMI sebagai organisasi yang memiliki jumalah anggota yang bagitu banyak, yang tersebar di berbagai kota di indonesia dan juga sebagai organisasi yang memiliki cita-cita luhur dan memiliki spirit kebangsaan dan keumatan, berkontribusi. Oleh karena itu penulis, dalam tulisan ini akan menunjukan irisan-irisan yang ada pada kontitusi HMI sehingga dapat memberikan satu pandangan bahwasanya keterlibatannya untuk mengatasi problematika tersebut apakah merupakan sebuah kewajiban ataukan tidak.

Mission HMI dan Problematika Bangsa.

Jika di sebutkan satu satu, terkait dengan problematika bangsa hari ini, mungkin akan banyak dan mungkin juga tidak ada atau ada tetapi sediki, tergantung dari sudut padang yang kita gunakan untuk melihat realitas hari ini. Dalam hal ini, jika kita melihat dari prespektif bernegara atau dalam kajian negara maka permasalahan hari ini adalah tidak terpenuhi, tidak terlindungi dan tidak dihargainya hak asasi warga negara. Yakni hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak, hak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan, hak kebebasan berekspresi dan berpendapat dan berbagai hak hak lainnya yang terklasifikasi ke dalam hak sipil politik (sipol) dan hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob).
Berdasarkan data pengaduan masyarakat di Komnas HAM Tahun 2014, dugaan pelanggaran HAM yang dialami oleh individu menjadi mayoritas pelaporan ke Komnas HAM. Jumlahnya mencapai 4.342 (jumlah tersebut merupakan penambahan dari individu orang seorang sebanyak 3.647 berkas dan individu rentan sejumlah 695 berkas).[8]
Tabel I.I
no
Klasifikasi korban
Jumlah berkas
presentase
1
Individu orang seorang
3.647
51%
2
Individu rentan
695
9%
3
Kelompok masyarakat
1.951
27%
4
Kelompok rentan
802
11%
5
Organisasi
23
1%
6
Warga negara asing
12
1%

jumlah
7.130
100%
           
Sebagaimana yang terdapat pada tabel tersebut, yakni terdapat jumlah pelanggran yang terjadi pada individu, dalam hal ini KOMNAS HAM mengasumsikan bahwa; pertama, terdapat kesadarah HAM pad individu-individu. Kedua, terdapat kemudahan akses ke KOMNAS HAM dan ketiga, terdapat pelanggaran HAM yang memang lebih melibatkan individu. Jika dilihat berdasarkan kualifikasi tema hak, hak memperoleh keadilan yang pada umumnya, berkaitan dengan kinerja aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Peradilan yang dilaporkan bekerja tidak sesuai dengan prosedur atau harapan masyarakat pengadu. Praktik kriminalisasi, mafia hukum, hingga peradilan sesat masih saja menjadi bumbu getir bagi penegakan hukum di Indonesia. Tingkat pelanggaran pada hak ini yakni 41%. Sedangkan tema hak atas kesejahteraan, berkisar pada isu konflik lahan, sengketa ketenagakerjaan dan kepegawaian, penggusuran rumah tinggal dan pedagang, hak atas kesehatan, serta buruh migran, hak inipun sama terkait dengan tingkat pelanggarannya yakni 41%.[9]
Sedangkan pada bidang agraria pada tahun 2016 KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016, dengan luasan wilayah 2.829.254 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jika di tahun sebelumnya tercatat 252 konflik agraria, maka terdapat peningkatan signifikan di tahun ini, hampir dua kali lipat angkanya. Jika di rata-rata, maka setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 hektar lahan terlibat dalam konflik. Dengan kata lain, masyarakat harus kehilangan sekitar lima kali luas pulau Bali. Dalam hal ini pada sektor Perkebunan masih tetap menjadi penyebab tertinggi konflik agraria dengan angka 163 konflik (36,22 %), disusul sektor properti dengan jumlah konflik 117 (26,00 %), lalu di sektor infrastruktur dengan jumlah konflik 100 (22,22 %). Kemudian, di sektor kehutanan sebanyak 25 konflik (5,56 %), sektor tambang 21 (4,67 %), sektor pesisir dan kelautan dengan 10 konflik (2,22 %), dan terakhir sektor migas dan pertanian yang sama-sama menyumbangkan sebanyak 7 konflik (1,56 %).[10]

Grafik intensitas konflik. I.II[11]

Grafik konflik persektor I.III[12]


Dalam hal ini dapatlah diketahui bahwa tanggung jawab negara dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut, malah menjadi aktor dalam konflik tersebut yakni sebagai pihak yang merampas hak asasi warga negaranya. Oleh karena itu, HMI sebagai Organisasi Mahasiswa yang dimana sebagaimana yang dikatakan Hariman Siregar Sebagai Pilar ke lima demokrasi yakni penyambung lidah rakyat harus mengambil peran secara intens dan masif dalam menyelesaikan problematika tersebut. Hal inipun sejalan dengan apa yang menjadi Tujuan HMI atau mission HMI yakni;[13] “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridohi Allah SWT” daripada terlibata pada masalah masalah yang bukan akar persoalan dan cenderung tidak substansif semisal terlibat pada aksi 411 dan 212 di jakarta dan gerakan gerakan seremonial lainnya.

            Perwujudan dari Mission HMI adalah untuk membentuk pribadi insan cita yakni kader yang memiliki lima kualitas insan cita, sebagaimana yang terdapat di tujuan HMI yang telah sebutkan diatas, selaian dari membentuk pribadi atau  individu, apa yang menjadi tujuan HMI juga merupakan suatu keadaan ideal yakni masyrakat relijius, adil dan makmur serta bahagia (masyrakat adil makmur yang di ridohi Allah SWT),[14] Bukan hanya keadilan sosial ekonomi tetapi juga keadilan lingkungan. Oleh karena itu udah menjadi kewajiban kader HMI sebagai bentuk ikhtiar mencapai tujuan HMI, untuk terlibat dalam menyelesaikan masalah SDA dan lingkungan hidup.

Dalam hal ini, menurut saya, “Jika terdapat kemauan (politiakal will) jangankan menyelesaikan masalah bangsa, menurunkan surga ke bumi pertiwi pun HMI sanggup melakukannya”. Mungkin, Agak terkesan melebih-lebihkan, dari ungkapan saya tersebut, namun menurut saya sebagai organisasi terbesar yang memiliki anggota yang banyak dan tersebar di berbagai wilayah di repoblik indonesia yakni dari sabang sampai merauke bukan tak mungkin kalau HMI dapat menyelesaikan problematika yang dihadapi oleh bangsa hari ini. Selain kuantitas yang banyak, secara kualitas kader kader HMI tak dapat dipandang sebelah mata, dengan kultur akademis yang ada yakni sendiri membaca, berdua diskusi, tiga dan seterusnya aksi telah membentuk kader kader HMI menjadi pribadi pribadi yang dapat bertahan walau dihantam berbagai dinamika. Oleh karena itu, saya sangat optimis jika HMI dari pusat hingga ke komisariat-komisariat bersama sama turut serta dalam menyelesaikan problem bangsa khususnya di bidang SDA dan lingkungan hidup.

HMI Di Massa Kebangkitan Kembali (2006-Sekarang)

            Pada konstitusi hasil kongres ke XXIX pekanbaru, yang dilaksanakan pada tanggal 22 november – 5 desember 2015, pada massa kembangkitan saya secara pribadi hanya melihatnya sebagai sebuah harapan bukan merupakan sebuah fakta yang bear benar ril terjadi. Hal ini sebagaimana yang di gambarkan pada pada fase kembangkitan kembali, jelasnya sebagai berikut;[15]

Gelombang kritik terhadap HMI tentang kemundurannya telah menghasilkan dua umpan balik. Pertama, telah muncul kesadaran individual dan kesadaran kolektif (bersama-peny) di kalangan anggota, aktivis, kader, bahkan alumni HMI serta pengurs dimulai dari Komisariat sampai PB HMI, bahwa HMI sedang mengalami kemunduran. Kedua, selanjutnya dari kesadaran itu muncul kesadaran baru, baik secara individual dan kesadaran bersama dikalangan anggota, aktivis, kader, alumni dan pengurus bahwa dalam tubuh HMI mutlak dilakukan perubahan dan pembaharuan supaya dapat bangkit kembali seperti masa jaya-jaya dulu.
Sampai sejauh mana kebenaran dan bukti adanya indikator-indikator kebangkitan kembali HMI, sejarahlah yang akan menentukan kelak. Kita semua berharap dengan penuh optimis sesuai dengan ajaran Islam supaya manusia bersikap optimis, agar HMI dapat mengakhiri masa kemundurannya dan memasuki masa kebangkitannya secara meyakinkan.
Di tangan generasi sekaranglah sebagai generasi penerus, pelanjut, dan penyempurna perjuangan organisasi mahasiswa Indonesia tertua ini (HMI). Yakinkan dengan Iman, Usahakan dengan Ilmu, Sampaikan dengan Amal, Bahagia HMI, Jayalah Kohati, Yakin Usaha Sampai.

            Sebagaimana yang terdapat pada paragraf kedua, telah menunjukan bahwa fase kebangkitan kembali hanya sebuag opini yang di sebar luaskan dengan sebuah harapan akan terwujud. Dalam hal ini, saya menyepakati akan impian tersebut akan tetapi, sebagai sebuah fase dalam sejarah HMI saya kira tidak layak untuk dikatakan sebagai sebuah fase kebangkitan kembali, lantaran pada tataran empiris kader kader HMI yang berada di struktural kepengurusan di tingkat PB, Badko, dan Cabang tidak menggambarkan satu fenomena yang baik untuk menyatakan bahwa fase ini adalah fase kebagkitan kembali, akan lebih tepat dikatakan sebagai fase kemunduran total HMI. Kenapa demikian, dapat kita sakisikan berbagai kasus yang terjadi di negri ini, mulai dari konflik agraria, perusakan lingkungan, eksploitasi SDA, korupsi dll partisipasi kader HMI secara institusional sangatlah minim dan dapat dikatakan tidak ada. Adapun keterlibatan HMI, hanya sebagai sebuah gerakan yang sporadis bukan gerakan yang berlandaskan nilai nilai ideologis. Hal ini dapat dilihat dari kemasifan dan intensitas dalam pengawalan issu-issu yang ada. Begitu minim, dan begitu cepat menghilang layaknya menulis di atas pasir dan ketika di hantam ombak atau di sapu angin maka akan lenyap ditelan kenangan.

Tawaran Pola Gerakan: Sebuah Ikhtiar

            Secara kuantitas, jumlah anggota HMI sebagaimana di ungkapkan oleh Jusuf Kalla dengan mengutip pernyataan Arief Rosyid Hasan, bahwa HMI memiliki 215 cabang se-Indonesia, dan jumlah kader sebanyak 600.000 kader, serta memiliki 6 juta alumni.[16] Sementara itu jumlah masyrakat indonesia sendiri mencapai 262 juta jiwa,[17] Dengan anggota sebanyak itu tidaklah mungkin daya tawar atau pengaruh HMI di tataran Nasioanal tidak ada ataupun minim. Jika tidak ada, maka hal tersebut meruakan PR besar bagi pengurus besar.

Dalam hal ini, sebagaimana pola konflik di sektor SDA dan agraria, yakni yang cenderung bersifat fertikal, dimana menghadapkan pemerintah vs masyarakat. Maka upaya yang dapat dilakukan oleh kader HMI di tataran Komisariat, dan Cabang adalah melakukan advokasi dan perorganiasaian, secara masif dan intens serta continue dan berpihak kepada kaum mustad’afin, untuk menyelesaikan problamatika tersebut. Sementara pada tataran PB HMI hal yag dapat dilakukan diantaranya mengontrol jalannya pembentukan aturan undang-undang dan aturan skala nasional lainnya, sehingga tidak ada cela untuk melakukan manipulsi untuk kepentingan bisnis tertentu.

Sebab, saya menawarkan pola gerakan advokasi dan pengornaiasian, adalah dikarenakan untuk dapat meminimalisir efek domino dari gerakan yang dilakukan HMI, selain itu juga menurut saya pola advokasi lebih tepat digunakan oleh kader HMI ketimbang Revolusi karena HMI merupakan kader Umat dan Kader Bangsa yang akan selalu turut serta membela negri ini, sebagaimana yang terjadi pada fase angkat senjata dimana HMI turut terlibat aktif dalam melawan PKI, dan advokasi merupakan metode yang pas untuk menyelesaikan masalah masalah yang ada pada era ini.

Dalam hal ini, Sebagaimana di ungkapkan oleh Roem Topatipasang bahwa “mengorganisir rakyat bukanlah suatu pekerjaan yang akan membawa keberuntungan kebendaan atau kemasyhuran nama yang akan menjadikan anda seorang pahlawan. Sebaliknya, seorang pengorganisir rakyat baru dapat dianggap berhasil jika sang pahlawan adalah rakyat itu sendiri dan bukannya sang pengorganisir. Mengorganisir rakyat bukanlah suatu pekerjaan dimana anda harus memenuhi ketentuan 8 jam kerja sehari karena takut dipecat oleh atasan anda. Mengorganisir rakyat juga bukan semacam hobi yang bisa saja anda ubah ketika menemukan hobi baru lainnya yang lebih mengasyikkan. Bahkan, mengorganisir rakyat juga bukanlah suatu proyek pribadi yang bisa anda permaklumkan dan akui sebagai milik anda sendiri”.[18] Oleh karena itu, agar gerakan ini berjalan masif, sinergis, contineu dan progresis. Maka garis istruksi yang ada pada pengurus besar kepada setiap cabang yang tersebar di seluruh penjuru indonesia haruslah dimanfaatkan dengan baik dan bijaksana, sehingga gerakan HMI menjadi gerakan yang mencerminkan kolektifitas dan sinergis antara PB dan Cabang serta komisariat-komisariat. Bukan merupakan gerakan yang terpisah pisah sebagaimana yang terjadi sekarang, yakni cabang jalan sendiri, PB jalan sendiri begitupun Komisariat sangat begitu alergi dengan Cabang maupun PB karena cenderung Politis dan lupa akan Mission HMI yang ada hanya kepentingan pribadi personalia yang ada di kepengurusan PB maupun Cabang.

Sebagai sebuah penutup muncul sebuah harapan yang besar kepada ketua umum terpilih kakanda Respiratori Sadam Al-Jihadi priode 2018-2020 untuk benar benar mengabdikan diri untuk umat dan bangsa. Jika kakanda Sadam Al-Jihadi bisa benar benar mangabdikan diri untuk umat dan bangsa maka, kebangkitan kembali dapat menjadi sebuah kenyataan. Sekian, billahi tauwiq walhidayah wassalamualaikum wr wb. Yakusa.



[1] Konstitusi kongres ke XXIX Riau Pekanbaru.
[2] Ibid.
[3] Theo Huijbers, Filsafat hukum dalam lintas sejarah, (kanisius, yogyakarta;1982), h.24
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[8] Laporan Tahunan 2014, KOMNAS HAM 2014-2015. H, 19
[9]. Ibid, h 19-21
[10] “liberalisasi agraria diperhebat, reforma agraria dibelokkan” Catatan akhir tahun 2016, konsorsium pembaruan agraria.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Pasal 4 konstitusi HMI,
[14] Konstitusi HMI hasil Kongres pekanbaru, h.122

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Urgensi Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup Prespektif Ekopopulisme.

Mahasiswa Dan Politik Mahasiswa

CERITA hingga SENJA